LITERASI PENDIDIKAN STRES KERJA (Teori Aspek dan Strategi Menghadapi Stres dalam Pekerjaan/Burnout)

 


LITERASI PENDIDIKAN STRES KERJA

Teori Aspek dan Strategi Menghadapi Stres dalam Pekerjaan/Burnout




 


Penulis   : Iwan Kandori

Editor     : 

                    

 

Huruf dan Ukuran :

Constantia (11), viii + 206 , Uk:  UNESCO (15,5 x 23 cm)

 

ISBN :

No ISBN

 

Cetakan Pertama :

Bulan, Tahun

 

Katalog dalam Terbitan (KDT)

-

 

Hak Cipta Tahun, Pada Penulis

 

 

Isi diluar tanggung jawab percetakan

 

Copyright © 2024 by Jurusan Pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Manado

All Right Reserved

 

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang keras menerjemahkan, memfotokopi, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

 

PENERBIT JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MANADO

 

Jurusan Pendidikan Geografi Lantai II Gedung Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum 

Jl. Kampus UNIMA di Tondano Kelurahan Tounsaru Kecamatan Tondano Selatan Kabupaten Minahasa - Sulawesi Utara 95618

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

KATA PENGANTAR

 

 

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan buku ini.

Buku ini hadir sebagai respons terhadap fenomena stres kerja yang semakin marak terjadi di era modern ini. Stres kerja, atau yang dikenal dengan istilah burnout, dapat memberikan dampak negatif yang signifikan terhadap individu, organisasi, dan bahkan masyarakat secara luas.

Melalui buku ini, penulis ingin mengajak para pembaca untuk menyelami lebih dalam tentang stres kerja, mulai dari definisi, konsep, hingga strategi untuk mengatasinya. Buku ini tidak hanya menyoroti stres kerja dalam konteks individu, tetapi juga dalam lingkup organisasi, baik lembaga pendidikan maupun sektor swasta.

Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis dengan terbuka menerima kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi penyempurnaan buku ini di masa depan.

Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku ini. Semoga buku ini bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi individu yang ingin memahami dan mengatasi stres kerja, serta para profesional di bidang sumber daya manusia, psikolog, dan peneliti.

 

Tondano, Juli 2024

 

Iwan Kandori

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

DAFTAR ISI

 

 

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

BAB 1 RUANG LINGKUP MANAJEMEN STRES KERJA (BURNOUT) Teori Aspek dan Strategi Menghadapi Stres dalam Pekerjaan

A. Manajemen Stres Kerja dalam Lingkup Lembaga Pendidikan

B.  Lingkup Manajemen Stres Kerja pada Organisasi Sektor Swasta

BAB 2 KONSEP TEORI DAN LINGKUP MANAJEMEN STRES (BURNOUT)

A. Teori dan konsep Manajemen Stres

B.  Konsep Burnout

1.   Ciri-Ciri Burnout

2.  Dimensi Burnout

C.  Pengertian Konflik Peran

D. Kelebihan Beban Kerja

E.  Kepuasan Kerja

BAB 3 PERILAKU INDIVIDU DALAM TATA KERJA ORGANISASI (ANTECEDENT CONCEPT AND BURNOUT THEORY)

A. Konflik Peran pada Individu

B.  Kelebihan Beban Kerja

C.  Motivasi Intrinsik

1.   Konflik Peran

2.  Kelebihan Beban Kerja

3.   Motivasi Intrinsik

4.  Burnout

5.  Kepuasan Kerja

BAB 4 KONTRADIKSI  STRES INDIVIDU DALAM MANAJEMEN ORGANISASI  (SEBAB AKIBAT DAN SOLUSI )

A. Definisi Tanggapan Stimulus

B.  Definisi Kerja

C.  Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja

D. Dampak Stres Kerja

E.  Strategi Mengolah Stres

BAB 5 STRES

A. Pengertian Stres

B.  Stresor Psikofisiologi

C.  Sindrom Adaptasi Umum (GAS)

D. Stres dan Kerja: Sebuah Model

E.  Konsekvenser Stres

F.  Pengunduran Diri (Withdrawal)

G. Candyman Alcohol (Alcoholism)

H. Penyalahgunaan Obat-obatan (Drug Abuse)

BAB 6 KESEHATAN FISIK DAN MENTAL

A. Kesehatan Fisik dan Mental

B.  Stresor Lingkungan Fisik (Physical Environmental Stresor)

C.  Stresor Individu

D. Stresor Kelompok (Group Stresor)

E.  Stresor Keorganisasian (Organizational Stresor)

F.  Moderator (Menengah)

BAB 7 JENIS, TAHAPAN, SUMBER, EFEK, TANDA-TANDA DAN DAMPAK STRES

A. Jenis-Jenis Stres

B.  Tahapan Stres

C.  Sumber-Sumber Stres

D. Efek Stres

E.  Symptom Stres

F.  Ketenangan Hati dan Jiwa

G. Tanda-Tanda Stres

H. Dampak Stres

I.   Penyebab Stres

J.   Tempat-Tempat yang Dapat Mengakibatkan Stres

K.  Siapa Saja Yang Mengalami Stres?

L.  Skala Miller dan Smith

M. Kapan Orang Bisa Mengalami Stres?

BAB 8 PENGENDALIAN  DAN MENGATASI STRES

A. Saat di Rumah

B.  Saat di Tempat Kerja

C.  Cara Mengatasi Stres

D. Cara Yang Tidak Sehat Mengatasi Stres

E.  Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja

F.  Strategi Penanganan Manajemen Stres Kerja

G. Pendekatan Penanganan Stres

DAFTAR PUSTAKA

SENARAI

INDEKS

RIWAYAT PENULIS

SINOPSIS

 



------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 



BAB 1
RUANG LINGKUP MANAJEMEN STRES KERJA (BURNOUT)
Teori Aspek dan Strategi Menghadapi Stres dalam Pekerjaan

 

 

A.     Manajemen Stres Kerja dalam Lingkup Lembaga Pendidikan

Peranan pendidikan dalam kehidupan sangat penting bagi bangsa Indonesia. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Demikian pentingnya peranan pendidikan, maka dalam UUD 1945 diamanatkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak untuk mendapat pendidikan, pengajaran dan pemerintah mengusahakan untuk menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang. Sebagai penghasil sumber daya manusia yang handal dan sebagai penyedia jasa (service provider), pendidikan memiliki kewajiban untuk menciptakan manusia berkualitas melalui suatu proses pendidikan secara efektif. 

Secara umum, penyedia jasa pendidikan di Indonesia terdiri dari dua macam jasa yaitu pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Penyedia jasa pendidikan dikategorikan menurut tujuan penyedia jasa dan bersifat nirlaba. Perguruan tinggi sebagai salah satu instrumen pendidikan nasional diharapkan dapat menjadi pusat penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan tinggi serta pemeliharaan, pembinaan dan pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian sebagai suatu masyarakat ilmiah ilmiah yang dapat meningkatkan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam Undang- Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), penyelenggara pendidikan tinggi nasional yang berlaku di Indonesia dilakukan oleh pemerintah. Jasa pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan Akademik dan Pendidikan Profesi, sedangkan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas baik yang negeri maupun swasta. Sebagai sebuah organisasi, Perguruan Tinggi tentunya dituntut memiliki perencanaan-perencanaan strategik yang berkaitan dengan usaha menunjang kelancaran kegiatannya serta usaha pengembangan lebih lanjut. Untuk pengembangan, maka diperlukan adanya upaya secara berkelanjutan untuk merealisasi berbagai program kegiatan baik yang menyangkut dimensi personalia maupun dimensi material dan manajemen administratif dan yang paling penting untuk dikaji lebih dalam lagi adalah pengembangan dimensi personalianya yang menyangkut peningkatan kualitas kerja sumber daya manusia (khususnya dosen) yang berada pada PT. Disebut penting karena salah satu elemen pokok dalam PT sebagai sebuah organisasi adalah kesediaan dan kemauan dosen untuk memberikan sebagian daya upaya masing-masing secara nyata pada sistem kerjasama dalam berorganisasi. 

Konsep ini memfokuskan perhatian tentang bagaimana memotivasi dosen untuk bekerja sama secara manusiawi dengan atasannya, rekan dosen, staf administrasi maupun dengan mahasiswa. Hubungan manusiawi ini lebih menekankan kepada terciptanya suatu kondisi lingkungan kerja yang lebih baik, penyelia yang simpatik, tunjangan yang lebih baik, motivasi kerja yang lebih baik sehingga semua hal ini akan berpengaruh terhadap kinerja organisasi yang secara tidak langsung juga telah mempengaruhi tingkat kepuasan kerja (Straus dan Sayles, 1996 dalam Zaenal Abidin Shahabuddin, 2009). Dosen selaku civitas akademika dalam setiap aktivitasnya pasti akan mengadakan kontak langsung dengan individu-individu yang telah disebutkan atas, seperti dalam bentuk pertemuan rapat secara periodik dengan atasannya, hubungan rekan kerja dengan sesama dosen dan staf administrasi secara rutin maupun interaksi antara dosen dengan mahasiswa dalam bentuk perkuliahan, seminar, bimbingan dan hubungan dalam bentuk lainnya. Namun tingkat rutinitas pekerjaan seorang dosen yang selalu mengadakan kontak langsung dengan individu lain secara tinggi pasti akan menjadi determinan bagi lahirnya suatu kondisi yang dikenal dengan istilah ”Burnout”, seperti; kelelahan emosional (yang ditandai dengan berkurangnya sumber emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati, dan perhatian), memandang rendah dan meremehkan, bersikap sinis serta kasar kepada orang lain, juga merasa dirinya tidak kompeten dan tidak efektif serta kurang puas dengan apa yang telah dicapai dalam pekerjaan.

Pendapat ini didasari oleh beberapa hasil kajian ilmiah antara lain: Cordes dan Dougherty (1993) dalam Low et al., (2001) yang mengungkapkan bahwa Burnout mungkin saja atau biasa terjadi dalam berbagai jenis pekerjaan dan kondisi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Maslach yakni bahwa Burnout lebih dekat hubungannya dengan profesi-profesi penolong seperti perawat, pendidik (seperti guru atau dosen), pekerja sosial serta tenaga penjual atau tenaga pelayan yang selalu berhadapan langsung dengan konsumen. Profesi-profesi yang memiliki kecenderungan untuk mengalami Burnout tersebut, kemudian menjadi sampel penelitian yang ramai diteliti, antara lain oleh: Dubinsky et al., (1992); Moncrief et al., (1997); Babakus at al., (1999); Brashear at al., (2000); Low at al., (2001); Zagladi, (2004) dan Harris et al., (2006). Pendapat terakhir Burnout pada guru sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat umum hingga perguruan tinggi di Amerika Serikat oleh Sweeney dan Summers, (2002) yang membuktikan bahwa Burnout pada umumnya dialami juga oleh guru dan tenaga pendidik lainnya.

Berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dikatakan bahwa Burnout sangat mungkin dialami oleh tenaga dosen, baik dosen dengan status PNS,  DPK maupun dosen yayasan (dosen swasta).  Burnout yang mungkin dialami oleh tenaga dosen yang sementara menduduki jabatan struktural  secara pasti disebabkan karena adanya kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan bagi dosen tersebut. Salah satu penyebabnya karena adanya konflik peran yang dihadapi oleh dosen. Konflik peran yang dimaksud bersumber dari buruknya hubungan atasan, rekan dosen dan staf yang rendah serta tingkat keakraban yang rendah juga menjadi pemicu buruknya hubungan tersebut. Konflik antara sesama rekan dosen yang terjadi pada PTS disebabkan oleh adanya persaingan internal di antara dosen tersebut, terutama dalam hal perebutan jumlah mata kuliah yang diasuh dan jam mengajar. Konflik yang sama pun terjadi dengan mahasiswa, dan seperti yang telah dijelaskan di atas, hal ini disebabkan oleh karena tingginya tingkat rutinitas pertemuan antara dosen dengan mahasiswa dalam bentuk perkuliahan, pendampingan mahasiswa (permentoran), seminar, pengujian dan bentuk hubungan lainnya. Konflik lainnya lahir dari tanggung jawab lain yang harus dipikul oleh dosen yaitu menduduki salah satu jabatan struktural pada Perguruan Tinggi . 

Dalam hal ini seorang dosen akan diperhadapkan dengan 2 (dua) pekerjaan, tanggung jawab dan tuntutan harapan yang berbeda dari pekerjaannya sebagai seorang dosen maupun sebagai seorang pejabat struktural. Fenomena ini selaras dengan hasil kajian empiris yang diteliti Dubinsky et al., (1992) yang menyimpulkan bahwa konflik peran pada tenaga penjualan ternyata berpengaruh (negatif) terhadap tingkat kepuasan. Temuan ini diperkuat oleh hasil penelitian yang sama oleh Brashear at al., (2000). Faktor lain yang relatif berpotensi menyebabkan lahirnya Burnout pada dosen adalah beban kerja yang harus ditanggung oleh dosen tersebut. Beban kerja tersebut antara lain banyaknya jumlah mata kuliah yang diasuh per semester, melakukan berbagai kegiatan penelitian dan kegiatan pengabdian pada masyarakat serta harus berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan-kegiatan kepanitiaan. Beban kerja kerja tersebut akan semakin berat, karena ditambah dengan tugas lainnya yaitu sebagai pejabat struktural yang harus diembani oleh dosen tersebut dan dalam kenyataannya dosen-dosen tersebut sering kali ditugasi untuk memenuhi seminar, undangan atau pertemuan-pertemuan ilmiah mewakili atasannya. Hal ini dipertegas oleh hasil kajian Shaw dan Weekly, (1985) dalam penelitian mereka yang berjudul “The effect of objective work load variations of psychological strain and post work load performance” yang menjalankan bahwa work overload (kelebihan beban kerja) berpengaruh secara positif terhadap perceive pressure (perasaan tertekan).

Kedua determinan Burnout di atas didukung oleh Moncrief et al., (1997) menjelaskan bahwa Konflik peran mempengaruhi secara langsung terhadap Burnout, sementara kepuasan kerja dapat mengurangi Burnout. Sedangkan selaras dengan Shaw dan Weekly, (1985), Zagladi (2004) menemukan bahwa beban kerja yang berlebihan berpengaruh positif terhadap Burnout, konflik peran tidak berpengaruh terhadap Burnout dan kelelahan emosional (salah satu dimensi Burnout) yang tinggi berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Determinan Burnout lainnya justru berasal dari motivasi intrinsik dosen tersebut. Brewer, 1994 (dalam Karatepe dan Tekinkus, 2006) menjelaskan bahwa motivasi intrinsik adalah merupakan salah satu kunci talenta terbaik dari pekerja yang berada di garis depan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa motivasi intrinsik merupakan variabel yang dapat mengurangi intensitas Burnout. Pernyataan di atas dapat dibenarkan melalului pemaparan beberapa dosen PTS baik yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dpk maupun yang berstatus dosen swasta atau dosen yayasan yang sementara menempuh pendidikan lanjut pada berbagai universitas. Motivasi intrinsik tersebut berupa adanya persepsi dari dosen PT tersebut, bahwa mereka akan mempunyai peluang untuk lebih cepat dalam pengusulan kenaikan pangkat fungsional jika menduduki salah satu jabatan struktural pada lembaga tempat pengabdiannya. Proksi motivasi intrinsik lainnya yaitu bahwa mereka juga tertarik untuk mendapatkan pengakuan, merasa tertarik dengan tugas itu sendiri, juga memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi terhadap tugasnya serta memiliki motivasi untuk memajukan lembaga tempat mengabdi. 

Kontribusi pengaruh motivasi intrinsik ini diteliti oleh Low at al., (2001) dalam hasil penelitiannya yang menggunakan 148 tenaga penjualan sebagai objek terteliti, mengungkapkan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka konflik peran akan semakin rendah. Mereka juga mengemukakan bahwa semakin tinggi motivasi intrinsik maka Burnout akan semakin rendah dan semakin tinggi Burnout maka akan menurunkan tingkat kepuasan kerja.  Hal ini dapat diartikan sebagai suatu pengungkapan yang sama sekali tidak bertujuan untuk ”mengecilkan” atau bahkan menolak masuknya variabel lain  yang semula ”terkesampingkan”, namun relevansi variabel tersebut merupakan gambaran nyata dihadapi oleh dosen pada berbagai perguruan Perguruan Tinggi  yang ada.

 

B.     Lingkup Manajemen Stres Kerja pada Organisasi Sektor Swasta

 Demikian juga tak terkecuali peran sektor swasta dalam perannya sebagai suatu organisasi yang bersama-sama dengan bekerja dalam pengembangan perekonomian suatu Negara sangat pasti dan tidak terlepas kemungkinan mengalami hal yang sama manakalah diperhadapkan dalam proses pekerjaan yang dilakukannya di suatu jaringan organisasi perusahaan sangat pasti diperhadapkan dengan apa yang dinamakan sebagai Burnout atau  stres kerja yang biasa dialami oleh karyawan perusahaan. Siapa yang tidak kenal dengan Apple.Inc. Perusahaan ternama asal Amerika Serikat ini benar-benar menjadi fenomena baru teknologi dunia. Sejak didirikan pada tahun 1976 oleh Steve Jobs dan Steve Wozniak, berbagai macam produk telah dikeluarkan oleh Apple. Yang terbaru, sebut saja iPhone dan iPad. Kedua produk Apple tersebut benar-benar menguasai pasar telekomunikasi dan gadget dunia. Total penjualan iPhone pada April tahun 2012 ini telah mencapai angka 35,1 Juta unit atau naik sekitar 88% dibandingkan tahun sebelumnya (Apple Conference Call, 2012). iPad pun pada kuartal pertama ini telah menyentuh angka penjualan fantastis sebesar 11,8 Juta unit (naik lebih dari 100% dibandingkan tahun sebelumnya). Secara keseluruhan, jumlah pemasukan Apple pada kuartal ini telah mencapai US$ 39,2 Miliar dengan total keuntungan bersih sebesar US$ 11,6 Miliar. Apple-pun dinobatkan sebagai top 20 perusahaan terkaya di dunia dan top three perusahaan dengan perolehan laba tertinggi di dunia periode 2011-2012 (Bambang, 2012).

Ironisnya, disaat Apple bahagia karena hasil perolehan keuntungannya yang terus meningkat, Foxconn yang notabene adalah perusahaan perakit hampir seluruh produk Apple justru dalam suasana mencekam. Tuntutan kenaikan upah yang disertai dengan ancaman bunuh diri massal oleh para pekerja Foxconn seolah menjadi noda hitam dalam keberhasilan Apple. Hingga awal tahun ini, tercatat lebih dari 18 usaha percobaan bunuh diri telah dilakukan oleh pekerja Foxconn di berbagai lini produksi. Tiga belas diantaranya berakhir pada kematian. Beban kerja yang tinggi, lingkungan kerja yang ketat, serta upah yang tidak adil memberikan tekanan kerja tersendiri bagi para pekerja Foxconn.  

Laporan Center for Research on Multinational Corporations dan Students & Scholars Against Corporate Misbehaviour (Sacom) mengungkapkan bahwa sekitar 500 ribu karyawan bekerja dalam kondisi tertekan. Mereka dipaksa bekerja bagai mesin. Jam kerja Foxconn yang melebihi batasan jam kerja legal di China seakan menjadi bukti akan hal tersebut. Rata-rata pegawai Foxconn bekerja selama 60 jam setiap pekannya. Padahal, batasan jam kerja yang dilegalkan di China hanya selama 49 jam setiap pekannya. Seringkali, mereka terpaksa tidak mengambil ‘jatah libur’ guna memenuhi target produksi yang telah ditetapkan perusahaan. Permintaan pasar terhadap produk Apple yang terus meningkat tiap tahunnya memaksa para pekerja Foxconn untuk bekerja lebih keras melebihi batas kemampuan yang mereka miliki.

Kerja lembur tanpa libur bukan merupakan satu-satunya isu yang dihadapi Foxconn terkait stres yang dialami pekerja mereka. Hasil survey Fair Labor Association dan lembaga-lembaga independen lainnya mengungkapkan bahwa terdapat stresor-stresor (pemicu stres) lain yang diindikasi berperan terhadap stres yang dialami para pekerja Foxconn, seperti; upah kerja yang relatif kecil jika dibandingkan dengan jam kerja yang dihabiskan oleh para pekerja Foxconn (pekerja Foxconn rata-rata mendapatkan upah sebesar USD 350-400 setiap bulannya atau sekitar Rp. 3 Juta-4 Juta per bulan. Sebanyak 64% pekerja Foxconn mengatakan bahwa upah mereka tidaklah bisa menutupi kebutuhan dasar mereka), lingkungan kerja yang mirip militer (semuanya serba disiplin dengan aturan yang kaku dan ketat), perlakuan kerja yang tidak manusiawi (seperti jam istirahat kerja yang hanya 2x10 menit, sehingga tidak jarang para pegawai terpaksa menahan kebutuhannya untuk membuang air besar/kecil lantaran ia telah menggunakan jam istirahatnya, teriakan dan omelan para manajer terhadap pegawai yang melakukan kesalahan, susah bergerak akibat terlalu lama memakai jaket plastik dan sepatu bot ketika merakit produk, serta seringkali pekerja Foxconn mengalami kebengkakan di kakinya, nyaris tidak mampu berdiri lagi karena terlalu lama berdiri dalam kerja shift 24 jam), ruang atau kamar asrama perusahaan yang penuh sesak dengan ratusan pekerja dan desain bangunan yang mirip penjara, penggunaan anak-anak muda sebagai buruh perusahaan (Foxconn hanya mau merekrut pekerja berusia 20-28 tahun, bahkan ada sebagian pekerja yang masih berusia belasan tahun), serta kurangnya kepedulian Foxconn terhadap cedera yang dialami pekerja, baik karena tanggung jawab kerjanya (seperti penggunaan bahan kimia beracun untuk membersihkan produk) ataupun musibah akibat kurangnya protokol keselamatan (seperti kebakaran perusahaan yang terjadi 2 tahun lalu yang menewaskan 4 pekerja dan melukai hampir 75 pekerja). Tidak ada bentuk kepedulian sama sekali dari Foxconn. Walaupun ada, biasanya itu terjadi lantaran adanya desakan dari pihak ketiga agar Foxconn lebih peduli terhadap nasib pekerjanya.

 Akibat kondisi tersebut, banyak pegawai Foxconn yang merasa stres dan melakukan upaya bunuh diri. Sebagaimana telah diungkapkan oleh Liu Zhi Yi (21 tahun), seorang reporter sebuah surat kabar China yang melakukan penyamaran menjadi pekerja Foxconn guna mengetahui kondisi kerja Foxconn sebenarnya. Setelah 28 hari penyamarannya, Liu menyimpulkan, “tidak ada keraguan lagi bahwa terdapat hubungan yang sangat jelas antara tingkat stres yang dialami oleh pekerja Foxconn dengan upaya percobaan bunuh diri yang dilakukan oleh mereka. Total sebanyak 13 pekerja muda telah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri akibat stres yang mereka rasakan. Disamping itu, akibat sibuknya mereka dengan rutinitas bekerja, kebanyakan pekerja tidak mengenal satu sama lain (ghizmodo.com dan berbagai sumber).”

Foxconn tidak tinggal diam. Berulang kali mediasi coba dilakukan Foxconn untuk mengatasi masalah ini. Berbagai alternatif solusi pun telah dijalankan. Mulai dari menyediakan fasilitas CARE center untuk menjaga kesehatan psikologis pekerja, memasang jala di setiap gedung bertingkat Foxconn untuk mencegah timbulnya korban bunuh diri baru, membuat surat perjanjian tidak akan bunuh diri dengan pekerja mereka, menuruti permintaan pekerja akan kenaikan gaji, menyediakan distres room, pengadaan fasilitas hiburan baru seperti restoran, kafe internet, bioskop, kolam renang untuk menyegarkan mental pekerja, mengurangi jam kerja lembur, peningkatan penggunaan robot untuk mencapai efisiensi, hingga memberikan pesangon (meski nilainya relatif kecil) bagi pekerja yang memilih berhenti bekerja, tetap saja hal itu tidak mengurangi tingkat stres yang dialami pekerja Foxconn. Sebanyak 200-300 pekerja justru mengancam akan melakukan bunuh diri massal pada awal tahun 2012 ini. 

CEO Foxconn, Terry Gou, seakan sudah jenuh dan tidak peduli lagi akan permasalahan tersebut, ia mengatakan, “Hon Hai (Foxconn) has a workforce of over one million worldwide and as human beings are also animals, to manage one million animals give me a headache (Blodget, 2012).” Gou menganggap bahwa isu negatif tentang perlakuan buruh yang menyerang Foxconn bukanlah semata kesalahan dirinya. Hal itu (upah kecil, jam kerja panjang) merupakan permasalahan yang umum terjadi di berbagai industri manufaktur dunia. Lagipula, meski isu tersebut semakin sering terpublikasi media, ternyata hal itu tidak mengurangi minat rakyat China untuk bekerja di Foxconn. Antrian panjang selalu terjadi ketika Foxconn membuka lowongan kerja. Foxconn lagi-lagi memiliki bargaining power yang lebih tinggi atas pekerjanya. Pekerja Foxconn semakin tidak memiliki pilihan selain bekerja keras dalam pekerjaan saat ini dengan menerima upah dan kondisi yang ada atau memutuskan untuk keluar dan bekerja keras mencari pekerjaan lain. tampak jelas bahwa kasus yang terjadi di Foxconn, China, merupakan akibat dari adanya stres kerja yang dialami para pegawainya. Ada ketidakseimbangan antara kepribadian pekerja Foxconn dengan karakteristik pekerjaan yang dihadapinya, selain itu adanya beban kerja yang berlebih dengan imbalan yang tidak sebanding atas apa yang mereka kerjakan semakin memberikan tekanan psikis tersendiri bagi mereka. Permasalahan Pun semakin rumit ketika beban kerja yang mereka dapatkan ternyata lebih tinggi dari yang mereka bayangkan. Upah yang kecil serta perlakuan manajemen yang diluar batas manusiawi semakin menambah derita pekerja. Para pekerja pun bereaksi dengan menuntut perbaikan gaji, kondisi kerja, jam kerja, serta perlakuan yang lebih baik dan manusiawi. Bahkan, mereka mengancam untuk melakukan tindakan bunuh diri jika tuntutan mereka tidak dipenuhi oleh Foxconn (acute stresor).

Stres kerja dapat didefinisikan sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang (Luthans, 1992). Baron dan Greenberg (1999) mendefinisikan stres kerja sebagai reaksi – reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Sedangkan, Rivai dan Mulyadi (2003) menjelaskan bahwa timbulnya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian pegawai dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Secara keseluruhan, stres kerja dapat diartikan sebagai suatu respon (bisa berupa reaksi emosional maupun psikologis) dari setiap individu baik positif maupun respon negatif yang terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara kepribadian, psikologis dari setiap individu dengan karakteristik pekerjaannya.


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------



BAB 2
KONSEP TEORI DAN LINGKUP MANAJEMEN STRES (BURNOUT)

 

A.     Teori dan konsep Manajemen Stres

Manajemen stres adalah kemampuan untuk mengendalikan diri ketika situasi orang-orang, dan kejadian-kejadian yang ada memberi tuntutan yang berlebihan. “Tidak ada seorangpun yang bisa menghindarkan diri dari stres. Namun stres dapat bisa dikelola sehingga justru dapat menimbulkan nilai positif bagi seseorang. Stres tidak boleh dihilangkan sama sekali karena dia membantu kelangsungan hidup dan memberikan kelangsungan hidup”  (Mudjaddid, Diffy: 2005). Stres di tempat kerja merupakan hal yang hampir setiap hari dialami oleh para pekerja di kota besar. 

Masyarakat pekerja di kota-kota besar seperti Jakarta sebagian besar merupakan urbanis dan industrialis yang selalu disibukkan dengan deadline penyelesaian tugas, tuntutan peran di tempat kerja yang semakin beragam dan kadang bertentangan satu dengan yang lain, masalah keluarga, beban kerja yang berlebihan, dan masih banyak tantangan lainnya yang membuat stres menjadi suatu faktor yang hampir tidak mungkin untuk dihindari. Stres di tempat kerja menjadi suatu persoalan yang serius bagi perusahaan karena dapat menurunkan kinerja karyawan dan perusahaan. Sebuah lembaga penelitian terhadap stres di Amerika memperkirakan bahwa stres di tempat kerja menyebabkan para pengusaha di Amerika terpaksa merugi sekitar 300 juta dollar Amerika setiap tahunnya akibat menurunnya produktivitas, serta meningkatnya ketidakhadiran, turnover, konsumsi minuman keras dan biaya pengobatan karyawan  Di Jepang, pemerintah secara berkala memantau tingkat stres yang terjadi di tempat kerja dan menemukan bahwa jumlah karyawan yang merasakan tingkat stres tinggi dalam menjalani pekerjaan sehari-hari mengalami peningkatan dari 51% di tahun 1982 menjadi hampir dua pertiga dari total populasi pekerja yang ada di tahun 2000. Pada tahun yang hampir sama yaitu sekitar tahun 2000an, lebih dari 6000 perusahaan di Inggris mengeluarkan rata-rata lebih dari 80 ribu dollar Amerika untuk membayar kerusakan yang ditimbulkan akibat stres pada karyawan. Di Indonesia sendiri, salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh sebuah lembaga manajemen di Jakarta pada tahun 2002 menemukan bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan, PHK, pemotongan gaji, dan keterpaksaan untuk bekerja pada bidang kerja yang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki merupakan stresor utama pada saat itu.

 

B.     Konsep Burnout

Istilah Burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Freudenberger pada 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi professional yang disebut sebagai sindrom Burnout (Freudenberger dalam Turnip Seed dan Moore (1997). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Ibaratnya suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan  berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang mengalami Burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah (seperti gedung yang terbakar tadi). Kemudian terminologi Burnout mengalami perkembangan secara luas dan digunakan untuk memahami gejala kejiwaan pada diri seseorang. Dari berbagai tinjauan empiris khususnya dalam ilmu manajemen, terlihat bahwa penggunaan terminologi tersebut lebih difokuskan pada sindrom psikologi tentang tekanan kerja yang dialami seseorang di lingkungan pekerjaannya. Seiring dengan semakin populernya istilah “Burnout”, beberapa peneliti stres beranggapan bahwa Burnout adalah salah satu tipe stres dan sebagian lain memperlakukannya sebagai sesuatu yang memiliki sejumlah komponen. Salah satu komponen pendukung stres dan trauma membuat perbedaan antara stres dan Burnout sebagai berikut. Stres adalah normal dan sering kali cukup sehat namun ketika kemampuan untuk menghadapi stres mulai berkurang atau menurun maka kita mungkin sedang mengarah pada “Burnout”. John Izzo seorang profesional human resource senior dalam bidang pengembangan profesi dalam Luthans, menyatakan bahwa Burnout mungkin konsekuensi dari “hilangnya tujuan dasar dan pemenuhan dari pekerjaan anda”. Dia melanjutkan bahwa “mendapatkan keseimbangan lebih atau mendapatkan lebih banyak waktu pribadi akan membantu Anda menghadapi stres namun hal ini seringkali tidak membantu anda dalam menghadapi Burnout. 

Dalam area ini menunjukkan bahwa Burnout bukanlah harus sesuatu yang dihasilkan oleh permasalahan individu seperti cacat/kekurang-sempurnaan karakter atau perilaku seseorang didalam organisasi. Maslach (1993), seorang ahli peneliti stres dan Burnout terkenal menyimpulkan bahwa “dari hasil penelitian ekstensif, dipercaya bahwa Burnout bukanlah sebuah masalah orang-orang itu sendiri, tapi masalah lingkungan sosial di mana orang-orang itu bekerja. Dia yakin bahwa Burnout menciptakan rasa terisolasi dan perasaan kehilangan kontrol, yang menyebabkan pegawai yang mengalaminya berhubungan secara berbeda dengan rekannya dan terhadap pekerjaannya. Cordes dan Dougherty (1993) dalam Low et al., (2001) menunjukan Burnout itu mungkin saja atau biasa terjadi dalam berbagai jenis pekerjaan dan kondisi. Maslach juga menjelaskan hal yang sama yakni bahwa Burnout juga lebih dekat hubungannya dengan profesi-profesi penolong seperti perawat, pendidik (seperti guru atau dosen), pekerja sosial serta individu-individu yang selalu mengadakan kontak langsung dengan individu lainnya seperti tenaga penjual dan tenaga pelayan yang selalu berhadapan langsung dengan konsumen (Dubinsky et al., (1992); Moncrief et al., (1997); Babakus et al., (1999); Brashear et al., (2000); Low et al., (2001); Zalando, (2004) dan Harris et al., (2006). Berdasarkan kajian-kajian empiris tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang bekerja berorientasi melayani orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat “asimetris” antara pemberi dan penerima layanan karena seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang inilah yang paling berpotensi untuk dapat menimbulkan Burnout bagi individu-individu tersebut. Profesi pelayanan khususnya dibidang pendidikan seperti guru dan dosen pada dasarnya merupakan suatu pekerjaan yang menghadapi tuntutan beban kerja dan keterlibatan emosional. Hal ini terlihat dari hasil penelitian mengenai Burnout yang dilakukan oleh Sweeney dan Summers, (2002) terhadap guru sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat umum hingga perguruan tinggi, membuktikan adanya Burnout yang dialami guru dan tenaga pendidik pada umumnya.

Penelitian yang dilakukan pada bulan November-Desember 2002 di berbagai kota di Amerika Serikat menunjukkan hasil sebagai berikut:

1)       Guru Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang mengalami:

a)   Kelelahan emosional: 38,84%

b)  Depersonalisasi: 20,10%

c)   Kemunduran kepribadian: 41,06%.

2)      Tenaga pendidik di Sekolah Menengah Lanjutan Umum sampai Perguruan Tinggi yang mengalami:

a)   Kelelahan emosional: 45,33%

b)  Depersonalisasi: 13,59%

c)   Kemunduran kepribadian: 41,08%

 

1.       Ciri-Ciri Burnout

Gelisah dan tidak mampu tidur dengan baik adalah sindrom yang umum dari kelelahan syaraf. Ciri umum Burnout yang kedua adalah kecemasan yang mengambang. Individu yang mengalami Burnout tampaknya terayun-ayun di antara kecemasan dan depresi. Gejala Burnout lainnya adalah dimana seseorang merasa gagal, seakan-akan semua perjuangannya sia-sia saja dan tidak ada artinya, merasa diperlakukan tidak adil dan juga tidak dihargai. Hal inilah yang membuat seseorang menjadi sangat kecewa, stres, dan kehilangan kepercayaan maupun harga diri.

Cherniss (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan tanda dan gejala Burnout adalah sebagai berikut: (1) resistensi yang tinggi untuk pergi kerja setiap hari, (2) terdapat perasaan gagal di dalam diri, (3) cepat marah dan sering kesal, (4) rasa bersalah dan menyalahkan, (5) keengganan dan ketidakberdayaan, (6) negativisme, (7) isolasi dan penarikan diri, (8) perasaan capek dan lelah setiap hari, (9) sering memperhatikan jam saat bekerja, (10) sangat pegal setelah bekerja, (11) hilang perasaan positif terhadap orang lain, (12) sinisme terhadap orang lain dan bersikap menyalahkan, (13) gangguan tidur atau sulit tidur, (14) asyik dengan diri sendiri, (15) mendukung tindakan untuk mengontrol perilaku, misalnya menggunakan obat penenang, (16) sering demam dan flu, (17) sering sakit kepala dan gangguan pencernaan, (18) kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan, (19) rasa curiga yang berlebihan dan paranoid dan (20) penggunaan obat-obatan yang berlebihan. 

Orang yang sedang mengalami Burnout, pada umumnya ingin menyendiri, dan tidak ingin banyak bicara. Mereka ingin mencari ketenangan. Mereka tidak membutuhkan segala macam nasehat, sebab nasehat maupun usulan-usulan apapun yang diberikan karena bias disalahartikan sebagai kritikan. Masalahnya orang yang sedang mengalami Burnout itu sangat sensitif sehingga mudah sekali tersinggung. Hasil penelitian Maslach bahwa Burnout paling banyak dijumpai pada individu yang berusia muda.

 

2.      Dimensi Burnout

Menurut Cordes dan Dougherty (1993) dalam Babakus (1999) dan Low (2001) bahwa Burnout terdiri dari tiga dimensi yang menggambarkan sindrom psikologi yang antara lain adalah:

a)      Kelelahan emosional (emotional exhaustion).

b)      Depersonalisasi (depersonalization).

c)       Kemunduran kepribadian (diminished personal accomplishment oleh Maslach dan Jackson (1981) ; Pines dan Maslach (1980) ; Maslach (1982)).

 

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar berikut ini:

 


Gambar 1. Komponen Utama Burnout, Maslach dan Jackson (1981), Cordes dan Dougherty (1993)

 

Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu (kelelahan emosional), personal accomplishment lanjut dijelaskan bahwa ketegangan emosional yang muncul karena berhubu dengan orang lain. Hubungan yang terjadi antara pemberi dan penerima pelayanan, menurut Maslach (1980), merupakan hubungan yang asimetris. Kelelahan emosional ditandai dengan adanya perasaan lelah akibat banyaknya tuntutan emosional yang ditandai dengan perasaan terkurasnya energi yang dimiliki, berkurangnya sumber-sumber emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati, dan perhatian, yang pada akhirnya memunculkan perasaan tidak mampu lagi memberikan pelayanan kepada orang lain. Cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi sindrom ini adalah mengurangi keterlibatan secara emosional dengan penerima pelayanan (Maslach, 1980; Maslach dkk, 1996). Depersonalisasi merupakan sikap, perasaan, maupun pandangan negatif terhadap penerima pelayanan (Maslach, 1996). Reaksi negatif ini muncul dalam tingkah laku seperti memandang rendah dan meremehkan klien, bersikap sinis terhadap klien, kasar dan tidak manusiawi dalam berhubungan dengan klien, serta mengabaikan kebutuhan dan tuntutan klien (Maslach, 1982, 1993). Sindrom ini merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan orang lain.

Reduced personal accomplishment ditandai dengan kecenderungan memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri, terutama berkaitan dengan pekerjaan. Pekerja merasa dirinya tidak kompeten dan tidak efektif, kurang puas dengan apa yang telah dicapai dalam pekerjaan, bahkan perasaan kegagalan dalam bekerja (Maslach, 1982, 1993). Menurut Maslach (1982) evaluasi negatif terhadap pencapaian kerja ini berkembang dari adanya tindakan depersonalisasi terhadap penerima pelayanan. Pandangan maupun sikap negatif terhadap klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi pelayanan. yang menjadi indikator dari Burnout adalah ketiga dimensi utama di atas yaitu; emotional exhaustion (kelelahan emosional), depersonalization (depersonalisasi), dan reduced personal accomplishment (penurunan pencapaian prestasi diri).

 

C.     Pengertian Konflik Peran

Luthans (2002) mendefinisikan konflik peran sebagai suatu posisi yang memiliki harapan untuk berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu akan mengalami konflik peran dalam organisasi jika yang bersangkutan menerima peran yang tidak sesuai dengan perilaku peran yang tepat. Lebih lanjut Luthans (2002) mendeskripsikan konflik peran melalui tiga dimensi utama yaitu:

1)       Konflik antara individu dengan perannya, di mana konflik ini terjadi di antara kepribadian individu tersebut dengan harapan akan perannya.

2)      Konflik intra role, dimana konflik ini dihasilkan oleh harapan yang kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan.

3)       Konflik interrole, di mana konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat yang bersamaan.

 

Sementara itu Robbins (2002) mendefinisikan konflik peran sebagai seperangkat pola perilaku yang diharapkan sebagai atribut seseorang yang menduduki suatu posisi yang diberikan pada satu unit sosial. Konflik peran didefinisikan sebagai sebuah situasi di mana seorang individu dihadapkan dengan harapan peran (role expectation) yang berbeda. Sementara harapan peran sendiri adalah bagaimana orang lain yakin bahwa seseorang harus berbuat pada situasi tertentu sehingga konflik peran akan memunculkan harapan yang akan sulit untuk dicapai. Indikator dari konflik peran yang digunakan  adalah; (1) hubungan dengan atasan, rekan dosen dan staf administrasi, (2) hubungan dengan mahasiswa, (3) persaingan dalam merebut jabatan struktural, (4) perebutan mata kuliah yang akan diasuh dan jam mengajar dan (5) menjalankan peran lain sebagai tenaga struktural atau pejabat struktural.

 

D.    Kelebihan Beban Kerja

Kelebihan beban kerja merupakan bagian dari konsep beban kerja secara keseluruhan. Pada dasarnya beban kerja terdiri dari empat dimensi yang merupakan salah satu penyebab utama dari Burnout (Gibson et al., 1996). Keempat dimensi tersebut antara lain:

1)       Quantitative overload merupakan kepercayaan bahwa seseorang harus mengerjakan pekerjaan yang lebih dari yang dapat diselesaikan pada waktu tertentu.

2)      Qualitative overload merupakan kepercayaan bahwa keterbatasan keahlian atau kemampuan untuk melaksanakan tugas yang diberikan. Misalnya jarak baca yang berkurang karena bertambahnya usia.

3)       Quantitative underload merupakan kebosanan yang diperoleh ketika para pekerja memiliki sedikit pekerjaan sehingga hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa.

4)      Qualitative underload merupakan keterbatasan stimulus akibat banyaknya rutinitas dan pengulangan pekerjaan. Kelebihan beban kerja pada diri seseorang adalah beban yang menjadi tugas dan kewajibannya tetapi melebihi takaran kesanggupannya.Kelebihan beban kerja tersebut dapat berbentuk bobot maupun waktu kerja yang berlebihan yang akan menimbulkan hal-hal buruk bagi individu karena cenderung dapat mengurangi efektifitas pekerjaan dan mengganggu perasaan pekerja yang bersangkutan. 

 

Focus HR, 2001 dalam Zagladi, (2004) mengungkapkan bahwa kelebihan beban kerja pada karyawan pada kurun waktu tiga bulan memperoleh hasil antara lain; 28% karyawan mengatakan bahwa dibebani kelebihan beban kerja bahkan sangat sering, 28% karyawan mengalami beban kerja yang lebih berat dari biasanya dan 29% karyawan mengatakan bahwa tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk kembali ke pekerjaan semula. Berdasarkan temuan hasil penelitian tersebut maka kelebihan beban kerja akan dirasakan oleh karyawan sebagai beban tambahan dan hal tersebut dapat mengakibatkan:

1)       Kesalahan dalam bekerja. Sebanyak 71% karyawan melaporkan bahwa karena kelebihan beban kerja mereka sering melakukan kesalahan dan hanya 1% yang hanya mengalami tekanan kerja karena kelebihan beban kerja tersebut.

2)      Perasaan takut diawasi oleh atasan. Sebanyak 43% menyatakan rasa takut karena diawasi dan hanya 3% yang menyatakan tidak mengalaminya.

3)      Perasaan tidak menyukai asistennya yang tidak bisa bekerja sesuai dengan keinginannya.

4)      Keinginan untuk mencari pekerjaan lain yang baru. Se Banyak 49 % menyatakan keinginannya untuk pindah kerja setelah mencapai masa kerja selama satu tahun karena kelebihan beban kerja dan hanya 30% yang tidak mengalami kelebihan beban kerja.

5)      Kecenderungan untuk mengucilkan diri sendiri. Hanya 41% karyawan dengan beban kerja yang tinggi yang dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sukses dan 61% mengalami hal sebaliknya. Beban kerja di lingkungan pendidikan tinggi dikenal dengan Beban Kerja Normal Dosen. 

 

Beban kerja dosen di perguruan tinggi dapat diukur dengan satuan yang disebut FTE, singkatan dari full time equivalent. Bagi perguruan tinggi di Indonesia, menurut SK Dirjen Dikti No. 48/DJ/Kep/1983, Beban kerja dosen sebesar 12 sks dalam satu semester dinilai setara dengan satu FTE (istilah Indonesia-nya: EWMP atau ekuivalen waktu mengajar penuh). Beban kerja sebesar 12 sks atau 1 FTE ini dianggap sebagai beban kerja penuh seorang dosen. Beban kerja sebesar 1 sks dinilai setara dengan beban kerja mengajarkan satu mata ajaran berbobot 1 kredit selama satu semester kepada satu kelas mahasiswa program S1 se banyak 40 orang. Perlu dicatat bahwa beban mengajar sebesar 1 sks setara dengan 3 jam kerja per minggu selama satu semester, sedangkan 3 jam per minggu ini terdiri dari 1 jam persiapan kuliah, 1 jam tatap muka,dan 1 jam evaluasi.Menurut SK Dirjen Dikti No. 48/DJ/Kep/1983 yang menjelaskan tentang Beban Kerja Dosen, beban kerja penuh seorang dosen sebesar 12 sks dalam satu semester atau 1 FTE secara rata-rata dapat tersebar untuk pelaksanaan berbagai tugas dengan kisaran sebagai berikut:

1)       Pengajaran: 2-8 sks (17-67)%.

2)      Penelitian dan pengembangan ilmu: 2-6 sks (17-50)%.

3)       Pengabdian pada masyarakat: 1-6 sks ( 8-50)%.

4)      Pembinaan civitas akademika: 1-4 sks ( 8-33)%.

5)      Administrasi dan manajemen: 0-3 sks ( 0-25)%.

 

Sementara tentang beban kerja normal dosen oleh Dirjen Dikti diperjelas melalui surat Dirjen Dikti No. 3298/D/T/99 tanggal 29 Desember 1999 dan Lampiran II-nya tentang beban kerja normal dosen. Dalam Lampiran II Surat Dirjen Dikti No. 3298/D/T/99 tanggal 29 Desember 1999 yang diperjelas adalah menyangkut rasional perhitungan jumlah jam kerja per minggu sebagai berikut:

1)       Mengajar/memberi kuliah: 1 SKS (Satuan Kredit Semester) ekuivalen dengan 3 jam pelaksanaan yang terdiri atas 1 jam tatap muka di kelas dan 2 jam persiapan menyusun bahan kuliah.

2)      Membimbing mahasiswa menyelesaikan skripsi: Skripsi mempunyai bobot 6 SKS berarti setiap mahasiswa harus menyediakan waktu 6 x 3 = 18 jam per minggu untuk mengerjakan skripsi. Karena sifat skripsi adalah tugas mandiri, maka minimal setiap mahasiswa harus berkonsultasi dengan dosen pembimbing selama 2 jam per minggu.

3)       Perwalian mahasiswa: Beban normal dosen wali adalah 20 orang mahasiswa per semester sehingga dosen mengenal setiap mahasiswa yang dibinanya. Untuk hal tersebut dosen menyediakan waktu minimal 1 jam per minggu untuk konsultasi terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh para mahasiswanya.

4)      Menguji ujian akhir/sidang sarjana: Setiap ujian akhir (sidang sarjana) memakan waktu 3 jam sehingga jika ada 3 mahasiswa mengikuti sidang sarjana pada akhir semester, dosen penguji harus menyediakan waktu 9 jam per semester atau 0,5 jam per minggu (1 semester ekuivalen dengan 18 minggu).

5)      Membuat diktat kuliah: Diktat kuliah diperkirakan berjumlah 100 halaman dan untuk menjamin mutu diktat yang baik diperlukan waktu menulis yang cukup. Jika 100 halaman ditulis dalam waktu 1 tahun, maka diperkirakan setiap minggu dapat ditulis 2 halaman (50 minggu efektif dalam 1 tahun) dan untuk dapat menulis 2 halaman yang bermutu diperlukan waktu 2 jam (termasuk persiapan mencari literatur, gambar, dsb.). Penelitian sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti, maka alokasi waktu yang harus disediakan oleh peneliti utama dalam melakukan penelitian Hibah Bersaing (HB) adalah 10 jam per minggu.

6)      Penulisan makalah di jurnal terakreditasi: Penulisan makalah yang diterbitkan di jurnal memerlukan waktu cukup lama, dimulai dari penulisan naskah, pengiriman ke dewan redaksi, review oleh tim  penilai, perbaikan/koreksi oleh penulis berdasarkan hasil review dan proses penyempurnaan untuk siap cetak. Menurut kaidah normal, diperlukan waktu 2 tahun dari saat mulai penulisan untuk akhirnya terbit di jurnal, dan waktu yang harus dialokasikan oleh penulis adalah ekuivalen dengan 1 jam per minggu.

7)      Pelatihan insidental: Kegiatan ini ditujukan untuk pengabdian pada masyarakat dengan memberikan jasa keahlian yang dimiliki oleh dosen tersebut. Berdasarkan kaidah normal, maka dosen mengadakan pelatihan 1 topik per semester dengan lama waktu pelatihan 3 hari kerja (ekuivalen 18 jam pelatihan). Untuk mempersiapkan bahan pelatihan diperlukan waktu minimal 18 jam, berarti diperlukan waktu 1 jam per minggu (1 semester ekuivalen dengan 18 minggu).

8)      Keanggotaan dalam panitia: Keanggotaan dalam panitia memerlukan komitmen waktu minimal untuk menghadiri rapat. Jika rapat rutin diadakan setiap 2 minggu dan setiap rapat normalnya berlangsung 2 jam maka diperlukan komitmen untuk 1 jam per minggu. Berdasarkan pemaparan diatas maka indikator yang digunakan untuk mengukur kelebihan beban kerja adalah; (1) melakukan berbagai kegiatan pendidikan, (2) melakukan berbagai kegiatan penelitian, (3) melakukan berbagai kegiatan pengabdian pada masyarakat (4) melakukan berbagai kegiatan penunjang lainnya dan (5) melakukan tugas lain di samping dosen yaitu sebagai tenaga atau sebagai pejabat struktural.

 

E.     Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang diinginkan oleh setiap pekerja. Kepuasan kerja dapat diartikan sebagai selisih antara harapan dan kenyataan yang diterima seorang pekerja atau keadaan emosional pekerja yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaannya. Menurut Robbins, (1996), kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya, sehingga seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi akan menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaannya. Sebaliknya jika seseorang tidak puas dengan pekerjaannya akan menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaannya. Lebih lanjut Handoko, (1996) menyatakan bahwa kepuasan kerja akan menampakan sikap positif karyawan terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Lebih luas lagi Luthans, (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja menyangkut beberapa hal pokok antara lain:

1)       Kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga keberadaannya karena kepuasan kerja menyangkut persoalan emosi atau respons pekerja dari situasi kerja yang dihadapi.

2)      Kepuasan kerja menyangkut kesesuaian hasil kerja yang diperoleh dengan harapan para pekerja.

3)       Kepuasan kerja sangat terkait erat dengan persoalan; pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, gaji, supervise maupun rekan kerja. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja sangat tergantung pada perbedaan antara harapan dan kenyataan yang dirasakan pekerja terhadap pekerjaannya termasuk lingkungan kerjanya. 

 

Seorang pekerja akan merasa puas jika harapannya terhadap pekerjaan termasuk lingkungan kerjanya terwujud. Beberapa teori kepuasan kerja, (Mangkunegara, 2005) antara lain:

1)       Teori keseimbangan (Equity theory); Dikembangkan oleh Adam,dengan komponennya yaitu input, outcome, comparison person, dan equity-in-equity. Teori ini menjelaskan bahwa puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan input-outcome dirinya dengan perbandingan input-outcome pegawai lainnya.

2)      Teori perbedaan (Discrepancy theory); Dipelopori oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan maka pegawai tersebut puas. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai itu akan merasa tidak puas.

3)       Teori pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment theory); Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan pegawai tergantung pada terpenuhi tidaknya kebutuhan pegawai.

4)      Teori pandangan kelompok (Sosial reference group theory); Kepuasan kerja bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Jadi pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan.

5)      Teori dua faktor dari Herzberg; Teori ini menjadikan teori Maslow sebagai acuannya. Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas yaitu: (1) faktor pemeliharaan meliputi administrasi dan kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas, hubungan dengan subordinat, upah, keamanan kerja, kondisi kerja dan status. (2) faktor pemotivasian, yang meliputi dorongan berprestasi, pengenalan, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kesempatan berkembang dan tanggung jawab.

6)      Teori pengharapan (Expectancy theory); Teori ini dikembangkan oleh Vroom, kemudian diperluas oleh Porter, Lawler dan Davis. Motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menentukannya. Dimana kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu (valensi) dikalikan harapan (kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu) akan menghasilkan motivasi (kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan tertentu). Produk dari valensi dan harapan adalah motivasi yang meningkatkan dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan aksi untuk mencapai tujuannya. Aksinya dapat dilakukan pegawai dengan cara berusaha lebih besar matau mengikuti kursus pelatihan. Hasil yang akan dicapai secara primer adalah promosi jabatan, dan gaji lebih tinggi. Hasil sekundernya, antara lain status menjadi lebih tinggi, pengenalan kembali, keputusan membeli produk dan pelayanan keinginan keluarga, dengan demikian lebih besar dorongan pegawai dalam mencapai kepuasan. Dalam praktiknya sering ditemukan kepuasan kerja berhubungan dengan beberapa variabel seperti; turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi. Kepuasan kerja yang tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah, sebaliknya pekerja yang tidak puas umumnya turnover yang tinggi dan atau tingkat absensinya tinggi. Ketidakhadiran mereka sering dengan alasan yang tidak logis dan subjektif (Davis, 2004). 

 

Ketidakpuasan pekerja juga sering dinyatakan dengan berbagai cara. Misalnya berhenti bekerja, mengeluh, tidak patuh, mencuri milik organisasi atau mengelak dari tanggung jawab kerja mereka. Lebih spesifik dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Robbins, (2001) menyatakan ada 4 (empat) faktor yang mendorong kepuasan kerja yaitu:

1)       Pekerjaan yang secara mental menantang. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan peluang kepada mereka untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan keberagaman tugas, kebebasan, dan umpan balik tentang bagaimana kinerja mereka. Ketika karakteristik tersebut dapat diwujudkan, maka bawahan akan merasa bangga dan puas dengan pekerjaannya.

2)      Ganjaran yang se timpal. Karyawan menginginkan sistem pembayaran dan kebijakan promosi yang adil, tidak bermakna ganda, dan sesuai dengan harapan mereka. Ketika pembayaran dipandang adil berdasarkan tuntutan pekerjaan, level keterampilan individu, dan standar pembayaran komunitas, maka kepuasan berpotensi muncul. Karyawan akan mencari kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi memberikan peluang untuk pertumbuhan pribadi, peningkatan tanggung jawab, dan kenaikan status sosial. Jika individu-individu yang menganggap keputusan promosi jabatan dalam organisasi atau perusahaan dibuat secara terbuka dan adil, maka mereka berpeluang meraih kepuasan dalam pekerjaan mereka. Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Bali I Gede Wenten Aryasuda menilai kebijakan pemerintah pusat melakukan pemangkasan tunjangan fungsional para guru swasta adalah tindakan kurang adil. "Kebijakan pemerintah tersebut kurang adil terhadap para guru swasta, apalagi gaji tunjangan yang diterima selama ini sangat kurang dibanding pengabdiannya selaku pendidik," katanya di Denpasar, Ahad (8/4). Ia mengaku sangat menyesalkan kebijakan pemerintah pusat yang memangkas kuota guru swasta di Bali yang berhak menerima tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik. Apalagi, kata dia, tunjangan fungsional dari para guru swasta ini nilainya sudah sangat minim. Hanya sebesar Rp.300 ribu per bulan. Menurut Aryasuda, hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi, karena kebijakan ini sangat kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan berkarakter di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Selain itu, kurang sinergi dengan upaya program peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ia mengatakan, pemberian tunjangan fungsional bagi para guru swasta tersebut merupakan amanah PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, sehingga pemerintah wajib menindaklanjuti aturan tersebut. Karena pada pasal 21 ayat 2, disebutkan subsidi tunjangan fungsional guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dianggarkan sebagai belanja pegawai atau bantuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan tunjangan fungsional bagi guru swasta," ujarnya. Hal senada juga dikemukakan pengamat pendidikan Drs I Nengah Madiadnyana, bahwa bila merujuk ketentuan PP Nomor 74 tahun 2008 pemerintah semestinya punya komitmen yang kuat dalam memperjuangkan hak para guru swasta terkait tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Logikanya, kata dia, jumlah guru swasta semestinya terus ditingkatkan, dan bukan sebaliknya malahan terus dipangkas. "Terus terang saja, saya tidak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang terkesan kontraproduktif," ucapnya. Madiadnyana yang juga mantan Ketua PGRI Kota Denpasar ini mengakui kebijakan pemerintah pusat yang memangkas tunjangan fungsional guru swasta ini tidak mencerminkan kebijakan yang berkeadilan dan kurang manusiawi. Hal ini juga dapat memicu kesenjangan sosial yang tidak sinergi dengan program pendidikan berkarakter, karena masih ada guru swasta yang tetap menerima tunjangan.

3)       Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli dengan lingkungan kerja mereka untuk kenyamanan pribadi sekaligus untuk memfasilitasi kinerja yang baik. Karyawan lebih menyukai kondisi fisik yang tidak berbahaya dan nyaman.

4)      Mitra kerja yang yang mendukung. Bagi sebagian besar karyawan, pekerjaan juga memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial mereka. Oleh karena itu mitra kerja yang ramah dan mendukung mendorong kepuasan kerja. Perilaku atasan karyawan juga menjadi penentu kepuasan kerja. 

 

Selanjutnya Mangkunegara, (2005) menyebutkan ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:

1)       Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja.

2)      Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yang menjadi indikator kepuasan kerja adalah; (1) pekerjaan sesuai dengan keinginan dan keahlian, (2) adanya peluang promosi, kenaikan pangkat fungsional dan kenaikan jabatan yang baik, (3) gaji, honorarium dan tunjangan yang memuaskan, (4) dukungan rekan kerja, dan atasan, dan (5) adanya prestise yang baik menyangkut citra lembaga tempat mengabdi.

 

1)       Shaw dan Weekly, (1985)

The effect of objective work load variations of psychological strain and post work load performance Penelitian yang dilakukan oleh Shaw dan Weekly, (1985) ini bertujuan untuk menguji dan menganalisa pengaruh dari; work overload/underload, perceive pressure, resentment, anxiety,  depression dan hostility terhadap performance. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil siswa baru jurusan atau konsentrasi psikologi sebagai sampel penelitian.    Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; work overload/underload sebagai variabel eksogen, perceive pressure, fresentment, anxiety, depression dan hostility sebagai variabel antara dan variabel endogonusnya adalah performance. Sementara; (1) work overload berpengaruh terhadap perceive pressure (perasaan tertekan), resentment, anxiety, depression and hostility dan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap performance, (2) work under load menghasilkan perasaan untuk menikmati tugas (presentment), (3) perasaan tertekan (perceive pressure) berpengaruh negatif terhadap kinerja. Hasil analisa pertama Shaw dan Weekly inilah yang diadopsi oleh penulis untuk menguji pengaruh kelebihan beban kerja sekaligus menjadikannya sebagai salah satu variabel anteseden dari Burnout.

 

2)      Dubinsky et al., (1992)

Influence of role stres in industrial salespeople's work outcomes in The United States, Japan and Korea Dubisky, Michaels, Katobe, Lim dan Moon, (1992) melakukan penelitian pada tiga negara berbeda yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Korea dengan mengambil tenaga penjual industri sebagai sampel penelitian dengan judul “Influence of role stres in industrial salespeople's work outcomes in The United States, Japan and Korea”. Variabel penelitiannya adalah; ambiguitas peran, konflik peran, kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional dengan tujuan untuk melihat hubungan kausalitas antara variabel-variabel penelitian tersebut. Model hubungan antara variabel yang ditampilkan adalah; ambiguitas peran berpengaruh terhadap ; kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Konflik peran berpengaruh terhadap ambiguitas peran, kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional. Sampel terpilih adalah tenaga penjual dari produk elektronik yang diambil dari tiga negara yaitu Amerika Serikat sebanyak 218 sampel, Jepang sebanyak 220 sampel dan Korea berjumlah 156 sampel. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan skala pengukuran variabel yang dipakai adalah skala 7 (tujuh) rangking, di mana 1 (amat sangat tidak setuju) dan 7 (amat sangat setuju). Untuk menganalisis data digunakan analisis jalur (path analysis), sementara untuk membentuk model yang direkomendasikan, peneliti menggunakan uji trimming dengan sehingga koefisien jalur-jalur yang tidak signifikan akan direduksi atau dibuang.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa; (1) Konflik peran mempunyai hubungan positif dengan ambiguitas peran dan keduanya berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi, (2) konflik peran tidak berpengaruh terhadap kinerja pada 2 sampai 3 sampel, (3) ambiguitas peran mengurangi kinerja dan komitmen organisasi, (4) ambiguitas peran tidak berhubungan dengan kepuasan kerja pada 2 sampai 3 sampel, (5) kinerja berhubungan positif dengan kepuasan kerja pada 2 sampai 3 sampel dan (6) kepuasan kerja berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Untuk pengembangan penelitian-penelitian di masa mendatang diharapkan dilakukan di negara-negara lain dengan sampel yang berbeda. Disarankan bagi penelitian yang akan datang untuk meneliti tentang elemen-elemen dari tingkat kepuasan kerja pada berbagai negara. Kontribusi pemikiran Dubinsky et al., (1992) inilah yang diadopsi dalam penelitian ini khususnya dalam pemilihan sampel dengan memilih dosen Perguruan Tinggi sebagai sampel terteliti. Di samping itu juga penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi keterkaitan antara hubungan variabel anteseden Burnout serta konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja dengan menggunakan manifes-manifes yang berbeda sehingga menghasilkan suatu variabel penelitian yang berbeda pula untuk mengukur tingkat kepuasan kerja pada sampel terteliti.

 

3)      Moncrief et al., (1997)

Examination the antecedent and consequences of salespeople's job Stres Moncrief, Babakus, Cravens Dan Johnston, (1997) dengan judul Examination the antecedent and consequences of sales peoples job stresmengekstensi oleh Seger, (1994) dalam “a structural model depicting salespeople’s job stres yaitu konflik peran dan ambiguitas peran sebagai variabel anteseden dari tekanan kerja. adalah kepuasan kerja, tekanan kerja, hasil yang diharapkan dan komitmen organisasional serta kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan. Model konseptual dari variabel anteseden dan konsekuensi dari tekanan kerja tersebut adalah sebagai berikut; ambiguitas peran berpengaruh terhadap konflik peran, tekanan kerja, dan kepuasan kerja. Peran konflik berpengaruh terhadap kepuasan kerja, tekanan kerja, hasil yang diharapkan. Selanjutnya tekanan kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan dan kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan. Kemudian hasil yang diharapkan berpengaruh terhadap komitmen organisasional dan komitmen organisasional berpengaruh terhadap kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan.  Contoh diambil adalah tenaga penjualan yang dipilih dari perusahan pelayaran internasional yang berskala besar. Pemilihan sampel ini direpresentasikan oleh besarnya kompensasi di atas gaji dasar ditambah komisi yang diterima oleh sampel terpilih dengan jumlah sampel keseluruhan berjumlah 188 tenaga penjual. Alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis jalur (path analysis dengan menggunakan program LISREL 7,0) dengan tujuan untuk menguji pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung dari variabel-variabel yang diteliti. kepada identifikasi variabel anteseden yang dapat dikontrol dan yang tidak dapat dikontrol seperti faktor besarnya kompensasi (dapat dikontrol) yang diterima dan faktor-faktor lain serta pengaruhnya terhadapnya sebagai variabel anteseden dari tekanan kerja. Hal ini menjustifikasi bahwa variabel penelitian yang diteliti oleh penulis adalah relevan dengan yang disarankan oleh Moncrief et al., (1997) juga berusaha untuk menganalisis variabel anteseden Burnout namun terfokus hanya pada konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. Yang membedakan antara oleh Moncrief et al., (1997) adalah bahwa untuk  mengembangkan variabel anteseden dari model Burnout yaitu dengan menambahkan variabel motivasi intrinsik dan kelebihan beban kerja sebagai prediktor Burnout sehingga variabel anteseden Burnout yang dibangun mampu untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena penelitian yang terjadi.

 

4)      Babakus et al., (1999)

The role of emotional exhaustion in salesforce attitude and behavior relationship tentang kelelahan emosional tenaga penjual yang dilakukan oleh Babakus, Cravens, Johnston dan Moncrief, (1999) adalah tentang peran kelelahan emosional dalam hubungan antara sikap, kekuatan penjualan dan perilaku. Objek dan subjek dalam adalah manajer pemasaran yang menempatkan tenaga penjual dilapangan sebagai objek tertelitinya dan hubungan antar ambigiutas peran, konflik peran, kelelahan emosi, komitmen organisasional, kepuasan kerja, dan kinerja serta keinginan untuk keluar dari pekerjaan sebagai subjeknya. Menurut Babakus et al., (1999) pengujian kelelahan emosional dengan menggunakan tenaga penjual di lapangan sangat menarik karena hanya ada satu kajian dengan menggunakan sampel terteliti yang sama yang pernah dilakukan oleh Boles, Johnson dan Hair (1997). Menurut Babakus et al., (1999), kelelahan emosional adalah sebuah konstruk penting dalam menguji perilaku dan sikap tenaga penjual. Salah satu sikap yang amat disfungsional yang sewaktu waktu dapat menimbulkan stres berat adalah Burnout yang adalah karakter sebuah sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang terjadi pada individu pekerja di lapangan. Model konseptual yang ditampilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; kelelahan emosional dipengaruhi oleh ambiguitas peran dan konflik peran. Kemudian Burnout tersebut mempengaruhi komitmen organisasional, kepuasan kerja dan kinerja. Komitmen organisasional dan kepuasan kerja mempengaruhi keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Sementara itu menurut model yang ada, terdapat pengaruh konflik peran terhadap; kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Ambiguitas peran juga mempengaruhi konflik peran, kepuasan kerja dan kinerja. Model ini juga memperlihatkan adanya pengaruh kinerja terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Hasil kajian Babakus et al., (1999) ini adalah; (1) ambiguitas berpengaruh positif terhadap konflik peran, negatif terhadap komitmen organisasi, positif terhadap Burnout, negatif terhadap kinerja(, 2) konflik peran berpengaruh positif terhadap Burnout negatif terhadap kepuasan dan positif terhadap kinerja, (3) Burnout berpengaruh negatif terhadap kepuasan, komitmen dan kinerja, (4) kinerja berpengaruh positif terhadap kepuasan, (5) kepuasan berpengaruh positif terhadap komitmen dan negatif terhadap keinginan untuk keluar, dan (6) komitmen berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Yang menarik bahwa Babakus et al., (1999) menjustifikasi bahwa penelitian tentang kelelahan emosional bahkan Burnout dapat terjadi pada semua lapangan kerja yang menempatkan seseorang sebagai pekerja garis depan yang selalu berinteraksi (bertatap muka) secara langsung dengan penerima layanan. Hubungannya dengan penelitian ini yaitu bahwa rekomendas Babakus et al., (1999) diadopsi penulis dalam penelitian ini yaitu dengan memilih dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagai sampel terteliti karena faktor interaksi langsung yang dihadapi oleh seorang dosen baik dengan atasan, rekan sejawat, staf administrasi dan terlebih dalam interaksi dengan mahasiswa dalam bentuk perkuliahan, seminar, bimbingan ataupun dalam bentuk interaksi lainnya.

 

5)      Brashear et al., (2000)

A test of retail salesforce turnover in Romania Brashear, Rosenberger III, Brooks dan Acevedo, (2000) melakukan penelitian ilmiah ini dengan mengambil judul “A test of retail salesforce turnover in Romania”, dengan tujuan secara umum untuk melihat kecenderungan tingkat turnover pada tenaga penjualan retail di Rumania. Kajian ini dilakukan di Rumania dengan beberapa alasan yaitu; karena Rumania dipandang sebagai salah satu pasar yang penting di Eropa Timur yang memiliki lokasi yang dipandang sentral, memiliki populasi penduduk yang besar serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik. Fenomena yang melatar-belakangi penelitian ini adalah karena pengaruh dari sistem perdagangan bebas sehingga menyebabkan adanya perubahan-perubahan yang harus segera dilakukan oleh perusahaan dan wirausaha lokal, di mana mereka harus mampu mengaplikasikan sistem manajemen penjualan negara negara barat dengan sebelumnya perlu untuk mengetahui tentang pengaruh yang dapat saja terjadi pada bidang usaha mereka. Fokus dan tujuan secara khusus dari penelitian ini akan lebih terpusat pada pengujian secara empiris tentang tingkat kinerja, kepuasan dan turnover yang terjadi pada tenaga penjualan di Rumania. Untuk mencapai fokus dan tujuan tersebut maka model hubungan antar variabel terteliti yang akan diuji dalam penelitian ini adalah; ambiguitas konflik berpengaruh terhadap kinerja, kepuasan, dan komitmen. Peran konflik berpengaruh terhadap kinerja dan kepuasan. Antara ambiguitas peran dan konflik peran terdapat hubungan timbal balik (reciprocal). Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap kepuasan dan komitmen. Kepuasan juga berpengaruh terhadap komitmen dan komitmen berpengaruh terhadap tingkat turnover.

Dengan menggunakan analisis Structural Equation Models (SEM) dengan bantuan program LISREL 8,30, Brashear et al., (2000) memberikan hasil antara lain; ambiguitas peran dan konflik peran memiliki hubungan negatif dengan kinerja dan kepuasan. Kemudian kinerja dan kepuasan berhubungan positif dengan komitmen organisational. Komitmen berhubungan negatif dengan kecenderungan tingkat turnover. Hubungannya dengan penelitian ini yaitu, penulis dalam penelitian ini berusaha untuk mengekstensi model Brashear et al., (2000) dengan memasukan variabel lain yaitu kelebihan beban kerja dan motivasi intrinsik dengan tetap mengadopsi konflik peran sebagai variabel anteseden Burnout serta menguji pengaruh antara variabel anteseden Burnout dan konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja.

 

6)      Low et al., (2001)

Antecedents and consequences of salesperson Burnout Low, Cravens, Grant, Moncrief, (2001) dalam penelitiannya yang  berjudul “Antecedents and consequences of salesperson Burnout”, mengambil sampel sebanyak 148 tenaga penjualan di Australia sebagai objek terteliti. Menurut Low et al., (2001) bahwa Burnout dianggap penting sebagai penelitian karena beberapa alasan antara lain; pertama karena pengaruh negatif dari Burnout pada karyawan dapat menyebabkan biaya turnover yang tinggi dan pasti akan menurunkan produktivitas. Kedua, dengan memahami tentang peran dari Burnout maka dapat menjadi pedoman bagi manajemen untuk mengurangi pengaruh yang dapat ditimbulkan dan ketiga yaitu terdapat hubungan yang erat antara Burnout, sikap dan perilaku individu dalam organisasi (Lee dan Ashforth, 1996 dan Singh et al.,1994).

Model konseptual yang ditampilkan oleh Low et al., (2001) lewat variabel-variabel yang diteliti antara lain; peran konflik, motivasi intrinsik, ambiguitas peran, Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja serta keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Sedangkan hubungan antar variabelnya adalah; peran konflik terhadap Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Motivasi intrinsik berpengaruh terhadap peran konflik, ambiguitas peran, Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. 

Burnout berpengaruh terhadap kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Komitmen organisasional dan kinerja berpengaruh terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Dalam model konseptual ini yang menjadi variabel anteseden dari Burnout adalah konflik peran, motivasi intrinsik dan ambiguitas peran. Populasi target dari penelitian ini adalah tenaga penjualan di Australia. karena tentang Burnout hanya dilakukan di Amerika Serikat. Sampel dipilih dari berbagai perusahaan seperti telekomunikasi, jasa pengiriman, jasa pengepakan barang dan lain-lain. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah judgment sampling method dengan jumlah sampel sebesar 148 tenaga penjualan. Hasil penelitian ini mempertegas penemuan peneliti-peneliti terdahulu yaitu (Sigh et al., 1994 dan Babakus et al., 1999) yaitu; (1) semakin tinggi motivasi intrinsik maka konflik peran akan semakin rendah, (2) semakin tinggi motivasi intrinsik maka ambiguitas peranakan semakin rendah, (3) semakin tinggi ambiguitas peran maka konflik peran akan semakin besar, (4) semakin tinggi motivasi intrinsik maka Burnout akan semakin rendah, (5) semakin tinggi ambiguitas peran maka Burnout akan semakin tinggi pula, (6) semakin tinggi konflik peran maka Burnout akan semakin tinggi, (7) semakin tinggi Burnout maka akan menurunkan tingkat kepuasan kerja, (8) tingkat motivasi intrinsik yang semakin tinggi memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja, (9) semakin tinggi ambiguitas peran akan menurunkan tingkat kepuasan kerja, (10) semakin tinggi tingkat konflik peran akan menurunkan tingkat kepuasan, (11) tingkat Kepuasan yang semakin tinggi akan berpengaruh negatif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (12) tingkat komitmen yang semakin tinggi akan berpengaruh negatif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (13) semakin tinggi ambiguitas peran akan berpengaruh positif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (14) semakin tinggi ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap kinerja, (15) semakin tinggi Burnout akan menyebabkan kinerja menjadi rendah dan (16) semakin tinggi kinerja maka komitmen pun akan semakin tinggi serta (17) semakin tinggi kinerja akan menurunkan niat untuk meninggalkan pekerjaan. Melakukan saran yang dikemukakan oleh Low et al., (2001) untuk mengkaji lebih lanjut tentang Burnout yang dihubungkan dengan tingkat kepuasan kerja dalam kondisi dan situasi yang berbeda dengan memasukan variabel lain (kelebihan beban kerja) untuk diteliti. Kelebihan beban pekerjaan dipilih untuk diteliti lebih didasarkan pada realitas fenomena yang terjadi.

 

7)      Zagladi, (2004)

Pengaruh kelelahan emosional terhadap kepuasan kerja dan kinerja dalam pencapaian komitmen organisasional Dosen Perguruan Zagladi, (2004) dalam “Pengaruh kelelahan emosional terhadap kepuasan kerja dan kinerja dalam pencapaian komitmen organisasional Dosen Perguruan Tinggi Swasta” menggunakan beberapa variabel penelitian yaitu; beban kerja, penghargaan, lingkungan keluarga, konflik peran, kelelahan emosional, kinerja dan kepuasan kerja serta komitmen organisasional. 

Kemudian kelelahan emosional tersebut mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja. Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap penilaian kinerja dan penilaian kinerja tersebut berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kemudian kinerja dan kepuasan kerja mempengaruhi komitmen organisasional. yang tinggi berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Selanjutnya kepuasan kerja yang tinggi berpengaruh terhadap kinerja. Serta kepuasan kerja dan kinerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi.

 

 

 

8)      Lankau et al., (2006)

The mediating influence of role stresors in the relationship between mentoring and job attitudes. Penelitian ini dilakukan oleh Lankau, Carlson, Nielson, (2006) bertujuan untuk menganalisis pengaruh dua peran stresor yaitu peran konflik dan ambiguitas peran terhadap hubungannya dengan aktivitas aktivitas mentoring dan sifat dari pekerjaan. Pada bagian pendahuluan penelitian ini Lankau et al., (2006) melihat bahwa aktivitas mentoring adalah merupakan salah satu subjek penelitian yang cukup bervariasi dalam dua dekade terakhir. Hal berikutnya yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bahwa ternyata hanya terdapat 3 (tiga) penelitian yang menganalisis tentang mediasi pengaruh antara peran stres terhadap mentoring dan sikap. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan oleh (1) Young dan Pierre, (2000), (2) Lankau dan Scandura, (2002) dan (3) Day dan Allen, (2002). Lankau et al., (2006) dalam penelitian ini mengusulkan adanya pengurangan terhadap peran stres sehingga pada akhirnya mampu untuk menjelaskan tentang mengapa aktivitas-aktivitas mentoring seperti; dukungan vocational, dukungan psikologi dan peran model berpengaruh secara positif terhadap sikap dari tenaga mentor. Dimensi aktivitas-aktivitas mentoring yang terdiri dari dukungan vocational, dukungan psikologi dan peran model. Dimensi kedua adalah dimensi peran stres yang terdiri dari peran konflik dan ambiguitas peran dan dimensi terakhir adalah dimensi sikap yang terdiri dari kepuasan kerja dan komitmen organisasi. (1) peran stres memediasi hubungan antara dukungan vocational dan sikap mentor sikap mentor dan (3) peran stres memediasi hubungan antara dukungan model dan sikap mentor. sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah lulusan bisnis manajemen yang secara acak terpilih dari universitas bagian barat serta universitas bagian timur laut di Amerika Serikat dengan totalnya sebesar 355 sampel. Hasil analisis menunjukan bahwa ternyata peran stres memediasi hubungan antara dukungan vocational dan sikap mentor. Hipotesis kedua dan ketiga-pun ternyata terdukung oleh hasil analisa yang dilakukan yaitu, peran stres memediasi hubungan antara dukungan psikologi dan sikap mentor serta peran stres juga memediasi hubungan antara dukungan model dan sikap mentor. Keterbatasan adalah bahwa semua pengukuran yang digunakan diperoleh dari laporan pribadi responden sehingga mungkin saja akan bias, karena perbedaan metoda umum dan konsistensi responden. Untuk mengatasinya maka Lankau et al., (2006) mengusulkan untuk juga mengkaji persepsi yang berasal dari tenaga mentor itu sendiri khususnya menyangkut aktivitas-aktivitas mentoring dan peran stres yang dialaminya. Selanjutnya Lankau et al., (2006) juga mengusulkan untuk menganalisa lebih lanjut tentang perspektif keterlibatan mentor serta dampak peran stres yang ditimbulkan karena ada kemungkinan bahwa tugas mentoring dapat menjadi satu sumber Burnout yang signifikan untuk tenaga mentor, terutama dalam kaitan dengan peran konflik, ambiguitas peran dan kelebihan beban kerja yang harus dijalankannya. Hubungan antara penelitian oleh Lankau et al., (2006) dengan penelitian ini adalah bahwa rekomendasi penelitian oleh Lankau et al., (2006) ini yang coba untuk diteliti lebih lanjut oleh penulis, yaitu peran konflik dan kelebihan beban kerja akan dianalisis sebagai variabel anteseden Burnout serta juga menganalisa variabel lainnya yang relevan dengan fenomena yang terjadi.

 

9)      Bhanugopan, (2006)

An empirical investigation of job Burnout among expatriates Penelitian oleh Bhanugopan, (2006) dilakukan dengan tujuan untuk menguji hubungan antara Burnout dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dengan mengambil sampel penelitian adalah manajer ekspatriat di Papua New Guinea (PNG) dengan judul” An empirical investigation of job Burnout among expatriate”. Terdapat dua konsep besar yang digunakan untuk melihat hubungan antara determinan konsep-konsep tersebut dengan Burnout dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan di mana konsep tersebut akan terwakilkan oleh variabel-variabel yang akan diuji. 

Konsep dimaksud adalah; pertama, konsep karakteristik pekerjaan yang terdiri dari role conflict, role ambiguity dan role overload. Konsep kedua adalah konsep dimensi Burnout terdiri dari emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishments. Model hubungan antar variabel terteliti yang ditampilkan adalah role conflict, role ambiguity dan role overload berpengaruh terhadap emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments. Emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments berpengaruh terhadap Burnout dan Burnout sendiri berpengaruh terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dengan mengadopsi skala pengukuran Likert sebagai skala pengukuran jawaban responden. Bhanu Gopan, (2006) dalam penelitian ini membagikan kuesioner sebanyak 300 buah dan yang kembali hanya sebanyak 189 yang akhirnya dijadikan sebagai sampel penelitian ini.  Hasilnya Bhanugopan, (2006) mengemukakan bahwa; (1) role conflict, role ambiguity dan role overload berhubungan positif secara signifikan terhadap dimensi Burnout (emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishments), (2) emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishments yang dialami oleh pekerja akan membuat mereka mengalami Burnout, (3) Burnout berhubungan positif secara signifikan terhadap kecenderungan turnover. Bhanu Gopan, (2006) juga menyarankan untuk penelitian penelitian di masa mendatang untuk meneliti secara lebih mendalam tentang hubungan dimensi Burnout dengan pengaruh organisasional dan karakteristik individu. Yang diadopsi penulis dari penelitian Bhanugopan, (2006) ini adalah menyangkut hubungan antar role conflict dengan Burnout dan juga menyangkut saran bagi penelitian mendatang yakni mencoba untuk melibatkan unsur individu terutama menyangkut motivasi intrinsik sebagai variabel anteseden dari Burnout.

 

10)   Harris et al., (2006)

Role stresors, service worker job resourcefulness, and job outcomes: An empirical analysis. Harris, Artis, Walters, Licata, (2006) dalam penelitiannya yang ber judul “Role stresors, service worker job resourcefulness, and job outcomes: An empirical analysis” secara umum bertujuan untuk menyoroti pentingnya upaya untuk mengurangi peran stresor untuk meningkatkan keseluruhan efisiensi dan efektifitas perusahaan. 

Fenomena yang diangkat adalah sebuah tema yang sedang populer di dunia bisnis yaitu “do more with less” yang adalah sebuah ungkapan yang bermakna adanya usaha untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam organisasi. Tema ini lebih difokuskan kepada bagaimana menggunakan karyawan yang ada didalam perusahaan untuk bekerja secara lebih produktif dengan sumberdaya yang terbatas. Fenomena berikutnya adalah tentang Burnout (ambiguitas dan konflik peran) yang ternyata sangat mempengaruhi tingkat pemenuhan sumberdaya yang ada di dalam perusahaan, tingkat kepuasan dan juga tingginya tingkat turnover seperti yang dikemukakan oleh Licata (2003). Variabel-variabel yang digunakan oleh Harris et al., (2006) dalam penelitian ini adalah kepribadian, peran konflik dan ambiguitas peran, job resourcefulness, orientasi konsumen, kepuasan kerja serta keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. 

Adapun model hubungan antar variabel penelitian ini adalah kepribadian berpengaruh terhadap job resourcefulness, peran konflik dan ambiguitas peran berpengaruh terhadap job resourcefulness, kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Selanjutnya job resourcefulness berpengaruh terhadap orientasi konsumen, kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dan orientasi konsumen berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Sampel penelitian ini yang dipilih adalah karyawan retail pada perbankan berskala besar di Amerika Serikat menunjukan bahwa semua  yang antara lain adalah sebagai berikut: 

a)      Kontrol kepribadian dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan job resourcefulness.

b)      Kontrol kepribadian dan peran konflik berhubungan negatif dengan job resourcefulness.

c)       Pengaruh ambiguitas peran terhadap job resourcefulness lebih besar dibandingkan pengaruh peran konflik terhadap job resourcefulness.

d)      Job resourcefulness berhubungan positif dengan orientasi konsumen.

e)      Job resourcefulness berhubungan positif dengan kepuasan kerja.

f)       Orientasi konsumen memediasi pengaruh job resourcefulness terhadap kepuasan kerja.

g)      Job resourcefulness berhubungan negatif dengan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

h)      Orientasi konsumen memediasi pengaruh job resourcefulness terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan Harris et al., (2006) mengusulkan dalam rangka generalisasi serta untuk perkembangan topik penelitian ini maka sebaiknya penelitian mendatang juga menganalisa dimensi kepribadian lainnya seperti layanan profesional, dimensi keramah tamahan dan dimensi layanan lainnya yang berhubungan dengan karakteristik yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan seperti keterbukaan dan ketelitian yang tinggi. Kontribusi penelitian Harris et al., (2006) untuk penulisan ini adalah pengadopsian hubungan variabel konflik peran dengan kepuasan kerja sebagai bagian dari model konseptual penelitian.

 

11)     Karatepe dan Teknik, (2006)

The effects of work-family conflict, emotional exhaustion, and intrinsic motivation on job outcomes of front-line employees Penelitian ini dilakukan oleh Karatepe dan Tekinkus, (2006) ini dilakukan di Turki dengan tujuan untuk menganalisa dampak dari (1) konflik keluarga-pekerjaan terhadap kelelahan emosional, kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen afektif organisasi, (2) kelelahan emosional terhadap kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen organisasi (3) pengaruh motivasi intrinsik terhadap kelelahan emosional, kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen organisasi (4) kinerja pekerjaan terhadap kepuasan pekerjaan dan komitmen organisasi. konflik keluarga pekerjaan) mempunyai efek positif signifikan terhadap kelelahan emosional, dan motivasi intrinsik mempunyai dampak negatif signifikan terhadap kelelahan emosional. Hasil lainnya berdasarkan analisis jalur, yaitu bahwa konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pekerjaan, terdapat pengaruh positif yang signifikan dari motivasi intrinsik terhadap kinerja pekerjaan. Hasil juga mengungkapkan bahwa konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional berpengaruh negatif yang signifikan terhadap kepuasan pekerjaan. Sementara motivasi intrinsik dan kinerja pekerjaan mempunyai   efek positif yang signifikan terhadap kepuasan pekerjaan, konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional berpengaruh negatif terhadap komitmen afektif organisasi. Hasil selanjutnya adalah bahwa motivasi intrinsik mempunyai dampak positif signifikan terhadap komitmen afektif organisasi, dan kemudian hasil yang terakhir menunjukan bahwa kinerja pekerjaan dan kepuasan pekerjaan mempunyai efek positif yang signifikan terhadap komitmen afektif organisasi.

 

12)    Kurzum et al., (2008)

Predictors of Burnout among middle managers in the Turkish hospitality industry. Kuru Uzum, Anafarta dan Irmak, (2008) melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk menguji, memprediksi serta melihat predictor terpenting dari pengaruh kepuasan kerja, karakteristik pekerjaan dan karakteristik demografi terhadap Burnout dengan objek terteliti manajer tingkat menengah pada industri kesehatan di Turki. Fenomena penelitian ini dimulai dari kondisi pekerjaan industry kesehatan yang digambarkan sebagai suatu pekerjaan dengan prosedur yang kompleks, tingkat hubungan pekerja yang intensif pada setiap jenjang pekerjaan. Khusus untuk manajer tingkat menengah di Turki, tuntutan pekerjaan mengharuskannya untuk selalu melakukan kontak langsung dengan konsumen dan mereka juga dituntut untuk bekerja dalam waktu yang lebih panjang, harus diperhadapkan dengan bermacam permintaan konsumen, keinginan atau kebutuhan pekerja dan kebijakan-kebijakan perusahaan. Hal-hal tersebut disimpulkan dapat melahirkan Burnout khususnya secara umum pada manajer tingkat menengah. 

 

13)    Henkens dan Leenders, (2010)

Burnout and Older Workers. Fenomena utama dari penelitian ini adalah bahwa semakin tingginya partisipasi angkatan kerja pada usia tua yang terjadi di Belanda. Fenomena ini segera diantisipasi dengan cepat oleh pemerintah Belanda dengan melancarkan kebijakan-kebijakan formal lewat program pensiun dini. Dengan mengadopsi asumsi yang digunakan pada penelitian empiris sebelumnya, penelitian ini berasumsi bahwa pensiun dini dapat dilihat sebagai bentuk penarikan dari organisasi dalam upaya untuk menghindari situasi kerja yang tidak memuaskan, yang dapat dibandingkan dengan bentuk lain dari penarikan diri (salah satu ciri Burnout) seperti absensi atau penarikan psikologis. Berdasarkan asumsi tersebut maka fokus dari penelitian ini  adalah menganalisis hubungan antara Burnout dengan niat untuk pensiun dini.

Model konseptual  ini menggambarkan tentang  determinan dari Burnout. Pertama adalah karakteristik pekerjaan, yang teraktualisasi melalui beban kerja yang tinggi, tingkat otonomi pekerjaan, tantangan pekerjaan, tuntutan beban pekerjaan. Kedua adalah dukungan sosial yang meliputi dukungan manajer, dukungan kolega dan dukungan rekan kerja. Data penelitian ini bersumber dari informasi yang dikumpulkan selama survey pada tahun 2001 oleh Institute Demografi Interdisciplinar Belanda (NIDI). Sebanyak 2.892 karyawan pada 4 perusahaan swasta dan 1 perusahaan pemerintah dijadikan sebagai sampel penelitian.

Umur sampel rata-rata adalah diatas 50 tahun, dengan 76% adalah laki-laki, 41% di antaranya memiliki tingkat pendidikan rendah, 28% tingkat menengah dan 31% berpendidikan tinggi.

Alat analisis yang digunakan adalah menunjukkan bahwa kelelahan, sinisme, dan kompetensi (dimensi Burnout) merupakan reaksi terhadap aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan sosial mereka, kelelahan sebagian besar dijelaskan oleh beban kerja yang tinggi, kurangnya tantangan, tingginya tuntutan fisik pekerjaan, dan rendahnya dukungan sosial.Sinisme dijelaskan terutama oleh kurangnya tantangan dan beban kerja yang tinggi dan kurangnya dukungan kolega. Kompetensi dijelaskan oleh tantangan, dukungan beban kerja yang berat, otonomi, dan kurangnya dukungan sosial dari rekan kerja. 

Menunjukkan bahwa kelelahan signifikan dimediasi efek dari beban kerja, tantangan dan peluang pertumbuhan pada niat pensiun. Burnout berhubungan positif dengan niat untuk pensiun. Sementara efek beban kerja pada niat pensiun sepenuhnya dimediasi oleh kelelahan. Keterbatasan penelitian ini antara lain yaitu bahwa penelitian ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat (studi cross-sectional) dan yang kedua adalah faktor tingkat kesehatan karyawan yang berusia lanjut tidak diperhatikan dalam penelitian ini. Sementara hubungannya dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor penyebab Burnout terutama pada variabel beban kerja namun Henkens dan Leenders tidak meneliti konsekuensinya yang ditimbulkan oleh Burnout tersebut.

 

14)    Izquierdo et al., (2010)

 Applying Information Theory to Small Groups Assessment: Emotions and Well-Being at Work. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh emosi, desain pekerjaan hubungannya dengan tingkat kesehatan dengan menggunakan sampel awak kabin maskapai penerbangan atau (CC-Cabin Crew). Topik penelitian ini dipilih karena menurut peneliti bahwa salah satu kunci untuk kinerja pekerjaan yang memadai untuk sejumlah besar pekerja di sektor jasa berpusat pada ekspresi emosi. Variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi variabel emosional. Variabel ini diaktualisasikan melalui penularan emosional (EC) yang adalah proses dimana perasaan dan kerangka pikiran seorang individu ditransfer ke orang sekitarnya. bahwa penularan emosi menjelaskan proporsi yang signifikan dari varians dalam kelelahan emosional. Selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan negatif lebih mudah menular daripada yang positif (EW-Well Being) sehingga berpotensi untuk melahirkan Burnout. Selain EW, variabel lain telah diperhitungkan, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan desain. 

Desain pekerjaan juga berhubungan dengan stres EW dan bekerja, seperti dalam kasus kasus di mana konflik dan ambiguitas peran muncul. Rizzo, House & Lirtzman (1970) menunjukkan bahwa ambiguitas peran dicirikan oleh persepsi ketidaksesuaian antara harapan yang berbeda, tuntutan, dan  perilaku selama bekerja. Sementara konflik peran ditandai oleh persepsi ketidaksesuaian antara tuntutan, harapan dan perilaku yang berbeda di tempat kerja. Variabel EW juga berhubungan dengan kelelahan. Sindrom ini didefinisikan sebagai kelelahan emosional, sikap negatif terhadap orang lain pada umumnya klien, (depersonalisasi), dan efisiensi yang rendah di tempat kerja (kinerja pribadi berkurang) (Maslach & Jackson, 1986). Salah satu aspek penting dari kerangka emosional adalah pengaturan diri yang adalah elemen yang stabil yang memungkinkan individu untuk memandu kegiatan tujuan mereka dari waktu ke waktu dan tindakan. Aspek lainnya yang menggambarkan emosi adalah self efficacy merupakan rasa kompetensi yang membantu untuk mengatasi kesulitan dalam situasi menuntut tertentu. Kesimpulannya bahwa model konseptual yang dibangun dalam penelitian ini akan menggambarkan hubungan antara organisasi dan variabel pekerjaan desain (EW, peran dan konflik ambiguitas) berhubungan dengan variabel kesehatan. Sampel penelitian sebanyak 181 awak kabin pada sebuah maskapai penerbangan sipil dengan karakteristik sebagai berikut: semua responden adalah wanita, di antaranya 60% adalah sarjana dan 40% berpendidikan sekolah menengah, usia mereka berkisar  antara 22-45 tahun, dengan usia rata-rata adalah 32,8 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa perasaan cemas Kecemasan dijelaskan oleh emosi negatif, ambiguitas peran dan konflik peran. Disfungsi sosial dijelaskan oleh konflik peran, emosi positif dan Self Efficacy.

Depresi dijelaskan oleh variabel konflik peran. Burnout dijelaskan oleh konflik peran, emosi negatif, penularan emosional dan disonansi emosional. Hubungannya dengan penelitian ini adalah sama menganalisis dimensi Burnout lewat determinannya khususnya konflik  peran.

 

15)    Hamwi et al., (2011)

Reducing Emotional Exhaustion and Increasing Organizational Support Penelitian ini dilakukan oleh G. Alexander Hamwi, Brian N. Rutherford dan James S. Boles dengan tujuan untuk menjelaskan secara mendalam tentang determinan stres dan pengaruhnya terhadap kelelahan emosional individu dan persepsi individu tersebut terhadap dukungan organisasional. Guna memperoleh data penelitian, maka sebanyak 188 kuesioner dibagikan kepada karyawan yang berasal dari perusahaan iklan di selatan Amerika Serikat. Dari 188 kuesioner tersebut, 136 kuesioner dikembalikan dan selanjutnya dianalisis. Sampel penelitian ini terdiri dari 72% adalah laki-laki dengan umur rata-rata 30 tahun dan telah memiliki pengalaman bekerja selama 6,6 tahun, 73% diantaranya adalah lulusan perguruan tinggi dengan pendapatan rata-rata berkisar antara $9,600 sampai dengan $75,000 (tanpa bonus).    untuk menganalisis hubungan antara determinan stres yakni konflik peran dan ambiguitas peran terhadap persepsi dukungan organisasional dan kelelahan emosional, kemudian hubungan antara persepsi dukungan organisasional dengan konflik pekerjaan-keluarga dan kelelahan emosional serta hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga terhadap kelelahan emosional. Hasil analisis menunjukan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap dukungan organisasional, ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap dukungan organisasional, dukungan organisasional berpengaruh negatif terhadap konflik pekerjaan keluarga, konflik peran berpengaruh positif terhadap kelelahan emosional dan persepsi dukungan organisasional tidak berpengaruh terhadap kelelahan emosional serta konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif terhadap kelelahan emosional. Keterbatasan dari penelitian ini antara lain pertama, penelitian ini hanya meneliti persepsi karyawan, sementara dalam kenyataannya informasi yang berasal dari manajer sebuah perusahaan juga tidak kalah pentingnya. Kedua, tingkat generalisasi hasil penelitian ini akan melemah karena hanya meneliti pada satu perusahaan saja. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka untuk penelitian yang akan datang disarankan untuk meneliti pada perusahaan-perusahaan penghasil barang dan jasa serta melibatkan beberapa variabel lain  yang berhubungan dengan organisasi seperti komitmen dan tingkat turnover karyawan. Hubungannya antara penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel yang sama yaitu konflik peran dan kelelahan emosional (kelelahan emosional dalam penelitian ini merupakan salah satu indikator Burnout). Sementara bedanya adalah penelitian Hamwi ini lebih difokuskan pada determinan stres serta konsekuensinya terhadap dukungan organisasional, konflik pekerjaan-keluarga dan kelelahan emosional sementara penelitian ini lebih khusus menganalisis pengaruh anteseden Burnout serta konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. Konflik peran, kelebihan beban kerja dan motivasi intrinsik adalah merupakan ekstensi model anteseden Burnout yang dikembangkan penulis dalam penelitian ini. Sebelumnya model anteseden Burnout telah diteliti oleh beberapa peneliti terdahulu yang sebagian modalnya diadopsi penulis untuk memenuhi tujuan penelitian ini. Pengembangan (ekstensi) model penelitian ini dibangun berdasarkan model penelitian yang dilakukan oleh; Babakus et al., (1999) dalam “The role of emotional exhaustion in salesforce attitude and behavior relationship” yang menggunakan ambiguitas peran dan konflik peran sebagai variabel yang menyebabkan terjadinya salah satu dimensi Burnout yaitu kelelahan emosional pada 203 tenaga penjualan di Amerika Serikat.

BAB 2
KONSEP TEORI DAN LINGKUP MANAJEMEN STRES (BURNOUT)

 

 

 

A.     Teori dan konsep Manajemen Stres

Manajemen stres adalah kemampuan untuk mengendalikan diri ketika situasi orang-orang, dan kejadian-kejadian yang ada memberi tuntutan yang berlebihan. “Tidak ada seorangpun yang bisa menghindarkan diri dari stres. Namun stres dapat bisa dikelola sehingga justru dapat menimbulkan nilai positif bagi seseorang. Stres tidak boleh dihilangkan sama sekali karena dia membantu kelangsungan hidup dan memberikan kelangsungan hidup”  (Mudjaddid, Diffy: 2005). Stres di tempat kerja merupakan hal yang hampir setiap hari dialami oleh para pekerja di kota besar. 

Masyarakat pekerja di kota-kota besar seperti Jakarta sebagian besar merupakan urbanis dan industrialis yang selalu disibukkan dengan deadline penyelesaian tugas, tuntutan peran di tempat kerja yang semakin beragam dan kadang bertentangan satu dengan yang lain, masalah keluarga, beban kerja yang berlebihan, dan masih banyak tantangan lainnya yang membuat stres menjadi suatu faktor yang hampir tidak mungkin untuk dihindari. Stres di tempat kerja menjadi suatu persoalan yang serius bagi perusahaan karena dapat menurunkan kinerja karyawan dan perusahaan. Sebuah lembaga penelitian terhadap stres di Amerika memperkirakan bahwa stres di tempat kerja menyebabkan para pengusaha di Amerika terpaksa merugi sekitar 300 juta dollar Amerika setiap tahunnya akibat menurunnya produktivitas, serta meningkatnya ketidakhadiran, turnover, konsumsi minuman keras dan biaya pengobatan karyawan  Di Jepang, pemerintah secara berkala memantau tingkat stres yang terjadi di tempat kerja dan menemukan bahwa jumlah karyawan yang merasakan tingkat stres tinggi dalam menjalani pekerjaan sehari-hari mengalami peningkatan dari 51% di tahun 1982 menjadi hampir dua pertiga dari total populasi pekerja yang ada di tahun 2000. Pada tahun yang hampir sama yaitu sekitar tahun 2000an, lebih dari 6000 perusahaan di Inggris mengeluarkan rata-rata lebih dari 80 ribu dollar Amerika untuk membayar kerusakan yang ditimbulkan akibat stres pada karyawan. Di Indonesia sendiri, salah satu penelitian yang pernah dilakukan oleh sebuah lembaga manajemen di Jakarta pada tahun 2002 menemukan bahwa krisis ekonomi yang berkepanjangan, PHK, pemotongan gaji, dan keterpaksaan untuk bekerja pada bidang kerja yang tidak sesuai dengan keahlian yang dimiliki merupakan stresor utama pada saat itu.

 

B.     Konsep Burnout

Istilah Burnout pertama kali diutarakan dan diperkenalkan kepada masyarakat oleh Freudenberger pada 1973. Freudenberger adalah seorang ahli psikologi klinis pada lembaga pelayanan sosial di New York yang menangani remaja bermasalah. Ia mengamati perubahan perilaku para sukarelawan setelah bertahun-tahun bekerja. Hasil pengamatannya, ia laporkan dalam sebuah jurnal psikologi professional yang disebut sebagai sindrom Burnout (Freudenberger dalam Turnip Seed dan Moore (1997). Menurutnya, para relawan tersebut mengalami kelelahan mental, kehilangan komitmen, dan penurunan motivasi seiring dengan berjalannya waktu. Selanjutnya, Freudenberger memberikan ilustrasi tentang apa yang dirasakan seseorang yang mengalami sindrom tersebut seperti gedung yang terbakar habis (burned-out). Ibaratnya suatu gedung yang pada mulanya berdiri megah dengan  berbagai aktivitas di dalamnya, setelah terbakar yang tampak hanyalah kerangka luarnya saja. Demikian pula dengan seseorang yang mengalami Burnout, dari luar segalanya masih nampak utuh, namun di dalamnya kosong dan penuh masalah (seperti gedung yang terbakar tadi). Kemudian terminologi Burnout mengalami perkembangan secara luas dan digunakan untuk memahami gejala kejiwaan pada diri seseorang. Dari berbagai tinjauan empiris khususnya dalam ilmu manajemen, terlihat bahwa penggunaan terminologi tersebut lebih difokuskan pada sindrom psikologi tentang tekanan kerja yang dialami seseorang di lingkungan pekerjaannya. Seiring dengan semakin populernya istilah “Burnout”, beberapa peneliti stres beranggapan bahwa Burnout adalah salah satu tipe stres dan sebagian lain memperlakukannya sebagai sesuatu yang memiliki sejumlah komponen. Salah satu komponen pendukung stres dan trauma membuat perbedaan antara stres dan Burnout sebagai berikut. Stres adalah normal dan sering kali cukup sehat namun ketika kemampuan untuk menghadapi stres mulai berkurang atau menurun maka kita mungkin sedang mengarah pada “Burnout”. John Izzo seorang profesional human resource senior dalam bidang pengembangan profesi dalam Luthans, menyatakan bahwa Burnout mungkin konsekuensi dari “hilangnya tujuan dasar dan pemenuhan dari pekerjaan anda”. Dia melanjutkan bahwa “mendapatkan keseimbangan lebih atau mendapatkan lebih banyak waktu pribadi akan membantu Anda menghadapi stres namun hal ini seringkali tidak membantu anda dalam menghadapi Burnout. 

Dalam area ini menunjukkan bahwa Burnout bukanlah harus sesuatu yang dihasilkan oleh permasalahan individu seperti cacat/kekurang-sempurnaan karakter atau perilaku seseorang didalam organisasi. Maslach (1993), seorang ahli peneliti stres dan Burnout terkenal menyimpulkan bahwa “dari hasil penelitian ekstensif, dipercaya bahwa Burnout bukanlah sebuah masalah orang-orang itu sendiri, tapi masalah lingkungan sosial di mana orang-orang itu bekerja. Dia yakin bahwa Burnout menciptakan rasa terisolasi dan perasaan kehilangan kontrol, yang menyebabkan pegawai yang mengalaminya berhubungan secara berbeda dengan rekannya dan terhadap pekerjaannya. Cordes dan Dougherty (1993) dalam Low et al., (2001) menunjukan Burnout itu mungkin saja atau biasa terjadi dalam berbagai jenis pekerjaan dan kondisi. Maslach juga menjelaskan hal yang sama yakni bahwa Burnout juga lebih dekat hubungannya dengan profesi-profesi penolong seperti perawat, pendidik (seperti guru atau dosen), pekerja sosial serta individu-individu yang selalu mengadakan kontak langsung dengan individu lainnya seperti tenaga penjual dan tenaga pelayan yang selalu berhadapan langsung dengan konsumen (Dubinsky et al., (1992); Moncrief et al., (1997); Babakus et al., (1999); Brashear et al., (2000); Low et al., (2001); Zalando, (2004) dan Harris et al., (2006). Berdasarkan kajian-kajian empiris tersebut maka dapat disimpulkan bahwa seseorang yang bekerja berorientasi melayani orang lain dapat membentuk hubungan yang bersifat “asimetris” antara pemberi dan penerima layanan karena seseorang yang bekerja pada bidang pelayanan, ia akan memberikan perhatian, pelayanan, bantuan, dan dukungan kepada klien, siswa atau pasien. Hubungan yang tidak seimbang inilah yang paling berpotensi untuk dapat menimbulkan Burnout bagi individu-individu tersebut. Profesi pelayanan khususnya dibidang pendidikan seperti guru dan dosen pada dasarnya merupakan suatu pekerjaan yang menghadapi tuntutan beban kerja dan keterlibatan emosional. Hal ini terlihat dari hasil penelitian mengenai Burnout yang dilakukan oleh Sweeney dan Summers, (2002) terhadap guru sekolah dasar, sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah lanjutan tingkat umum hingga perguruan tinggi, membuktikan adanya Burnout yang dialami guru dan tenaga pendidik pada umumnya.

Penelitian yang dilakukan pada bulan November-Desember 2002 di berbagai kota di Amerika Serikat menunjukkan hasil sebagai berikut:

1)       Guru Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama yang mengalami:

a)   Kelelahan emosional: 38,84%

b)  Depersonalisasi: 20,10%

c)   Kemunduran kepribadian: 41,06%.

2)      Tenaga pendidik di Sekolah Menengah Lanjutan Umum sampai Perguruan Tinggi yang mengalami:

a)   Kelelahan emosional: 45,33%

b)  Depersonalisasi: 13,59%

c)   Kemunduran kepribadian: 41,08%

 

1.       Ciri-Ciri Burnout

Gelisah dan tidak mampu tidur dengan baik adalah sindrom yang umum dari kelelahan syaraf. Ciri umum Burnout yang kedua adalah kecemasan yang mengambang. Individu yang mengalami Burnout tampaknya terayun-ayun di antara kecemasan dan depresi. Gejala Burnout lainnya adalah dimana seseorang merasa gagal, seakan-akan semua perjuangannya sia-sia saja dan tidak ada artinya, merasa diperlakukan tidak adil dan juga tidak dihargai. Hal inilah yang membuat seseorang menjadi sangat kecewa, stres, dan kehilangan kepercayaan maupun harga diri.

Cherniss (dalam Sutjipto, 2001) menyatakan tanda dan gejala Burnout adalah sebagai berikut: (1) resistensi yang tinggi untuk pergi kerja setiap hari, (2) terdapat perasaan gagal di dalam diri, (3) cepat marah dan sering kesal, (4) rasa bersalah dan menyalahkan, (5) keengganan dan ketidakberdayaan, (6) negativisme, (7) isolasi dan penarikan diri, (8) perasaan capek dan lelah setiap hari, (9) sering memperhatikan jam saat bekerja, (10) sangat pegal setelah bekerja, (11) hilang perasaan positif terhadap orang lain, (12) sinisme terhadap orang lain dan bersikap menyalahkan, (13) gangguan tidur atau sulit tidur, (14) asyik dengan diri sendiri, (15) mendukung tindakan untuk mengontrol perilaku, misalnya menggunakan obat penenang, (16) sering demam dan flu, (17) sering sakit kepala dan gangguan pencernaan, (18) kaku dalam berpikir dan resisten terhadap perubahan, (19) rasa curiga yang berlebihan dan paranoid dan (20) penggunaan obat-obatan yang berlebihan. 

Orang yang sedang mengalami Burnout, pada umumnya ingin menyendiri, dan tidak ingin banyak bicara. Mereka ingin mencari ketenangan. Mereka tidak membutuhkan segala macam nasehat, sebab nasehat maupun usulan-usulan apapun yang diberikan karena bias disalahartikan sebagai kritikan. Masalahnya orang yang sedang mengalami Burnout itu sangat sensitif sehingga mudah sekali tersinggung. Hasil penelitian Maslach bahwa Burnout paling banyak dijumpai pada individu yang berusia muda.

 

2.      Dimensi Burnout

Menurut Cordes dan Dougherty (1993) dalam Babakus (1999) dan Low (2001) bahwa Burnout terdiri dari tiga dimensi yang menggambarkan sindrom psikologi yang antara lain adalah:

a)      Kelelahan emosional (emotional exhaustion).

b)      Depersonalisasi (depersonalization).

c)       Kemunduran kepribadian (diminished personal accomplishment oleh Maslach dan Jackson (1981) ; Pines dan Maslach (1980) ; Maslach (1982)).

 

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar berikut ini:

 


Gambar 1. Komponen Utama Burnout, Maslach dan Jackson (1981), Cordes dan Dougherty (1993)

 

Burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu (kelelahan emosional), personal accomplishment lanjut dijelaskan bahwa ketegangan emosional yang muncul karena berhubu dengan orang lain. Hubungan yang terjadi antara pemberi dan penerima pelayanan, menurut Maslach (1980), merupakan hubungan yang asimetris. Kelelahan emosional ditandai dengan adanya perasaan lelah akibat banyaknya tuntutan emosional yang ditandai dengan perasaan terkurasnya energi yang dimiliki, berkurangnya sumber-sumber emosional di dalam diri seperti rasa kasih, empati, dan perhatian, yang pada akhirnya memunculkan perasaan tidak mampu lagi memberikan pelayanan kepada orang lain. Cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi sindrom ini adalah mengurangi keterlibatan secara emosional dengan penerima pelayanan (Maslach, 1980; Maslach dkk, 1996). Depersonalisasi merupakan sikap, perasaan, maupun pandangan negatif terhadap penerima pelayanan (Maslach, 1996). Reaksi negatif ini muncul dalam tingkah laku seperti memandang rendah dan meremehkan klien, bersikap sinis terhadap klien, kasar dan tidak manusiawi dalam berhubungan dengan klien, serta mengabaikan kebutuhan dan tuntutan klien (Maslach, 1982, 1993). Sindrom ini merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan orang lain.

Reduced personal accomplishment ditandai dengan kecenderungan memberi evaluasi negatif terhadap diri sendiri, terutama berkaitan dengan pekerjaan. Pekerja merasa dirinya tidak kompeten dan tidak efektif, kurang puas dengan apa yang telah dicapai dalam pekerjaan, bahkan perasaan kegagalan dalam bekerja (Maslach, 1982, 1993). Menurut Maslach (1982) evaluasi negatif terhadap pencapaian kerja ini berkembang dari adanya tindakan depersonalisasi terhadap penerima pelayanan. Pandangan maupun sikap negatif terhadap klien lama-kelamaan menimbulkan perasaan bersalah pada diri pemberi pelayanan. yang menjadi indikator dari Burnout adalah ketiga dimensi utama di atas yaitu; emotional exhaustion (kelelahan emosional), depersonalization (depersonalisasi), dan reduced personal accomplishment (penurunan pencapaian prestasi diri).

 

C.     Pengertian Konflik Peran

Luthans (2002) mendefinisikan konflik peran sebagai suatu posisi yang memiliki harapan untuk berkembang dari norma yang dibangun. Seorang individu akan mengalami konflik peran dalam organisasi jika yang bersangkutan menerima peran yang tidak sesuai dengan perilaku peran yang tepat. Lebih lanjut Luthans (2002) mendeskripsikan konflik peran melalui tiga dimensi utama yaitu:

1)       Konflik antara individu dengan perannya, di mana konflik ini terjadi di antara kepribadian individu tersebut dengan harapan akan perannya.

2)      Konflik intra role, dimana konflik ini dihasilkan oleh harapan yang kontradiktif terhadap bagaimana peran tertentu harus dijalankan.

3)       Konflik interrole, di mana konflik ini dihasilkan dari persyaratan yang berbeda dari dua atau lebih peran yang harus dijalankan pada saat yang bersamaan.

 

Sementara itu Robbins (2002) mendefinisikan konflik peran sebagai seperangkat pola perilaku yang diharapkan sebagai atribut seseorang yang menduduki suatu posisi yang diberikan pada satu unit sosial. Konflik peran didefinisikan sebagai sebuah situasi di mana seorang individu dihadapkan dengan harapan peran (role expectation) yang berbeda. Sementara harapan peran sendiri adalah bagaimana orang lain yakin bahwa seseorang harus berbuat pada situasi tertentu sehingga konflik peran akan memunculkan harapan yang akan sulit untuk dicapai. Indikator dari konflik peran yang digunakan  adalah; (1) hubungan dengan atasan, rekan dosen dan staf administrasi, (2) hubungan dengan mahasiswa, (3) persaingan dalam merebut jabatan struktural, (4) perebutan mata kuliah yang akan diasuh dan jam mengajar dan (5) menjalankan peran lain sebagai tenaga struktural atau pejabat struktural.

 

D.    Kelebihan Beban Kerja

Kelebihan beban kerja merupakan bagian dari konsep beban kerja secara keseluruhan. Pada dasarnya beban kerja terdiri dari empat dimensi yang merupakan salah satu penyebab utama dari Burnout (Gibson et al., 1996). Keempat dimensi tersebut antara lain:

1)       Quantitative overload merupakan kepercayaan bahwa seseorang harus mengerjakan pekerjaan yang lebih dari yang dapat diselesaikan pada waktu tertentu.

2)      Qualitative overload merupakan kepercayaan bahwa keterbatasan keahlian atau kemampuan untuk melaksanakan tugas yang diberikan. Misalnya jarak baca yang berkurang karena bertambahnya usia.

3)       Quantitative underload merupakan kebosanan yang diperoleh ketika para pekerja memiliki sedikit pekerjaan sehingga hanya duduk dan tidak melakukan apa-apa.

4)      Qualitative underload merupakan keterbatasan stimulus akibat banyaknya rutinitas dan pengulangan pekerjaan. Kelebihan beban kerja pada diri seseorang adalah beban yang menjadi tugas dan kewajibannya tetapi melebihi takaran kesanggupannya.Kelebihan beban kerja tersebut dapat berbentuk bobot maupun waktu kerja yang berlebihan yang akan menimbulkan hal-hal buruk bagi individu karena cenderung dapat mengurangi efektifitas pekerjaan dan mengganggu perasaan pekerja yang bersangkutan. 

 

Focus HR, 2001 dalam Zagladi, (2004) mengungkapkan bahwa kelebihan beban kerja pada karyawan pada kurun waktu tiga bulan memperoleh hasil antara lain; 28% karyawan mengatakan bahwa dibebani kelebihan beban kerja bahkan sangat sering, 28% karyawan mengalami beban kerja yang lebih berat dari biasanya dan 29% karyawan mengatakan bahwa tidak lagi mempunyai waktu yang cukup untuk kembali ke pekerjaan semula. Berdasarkan temuan hasil penelitian tersebut maka kelebihan beban kerja akan dirasakan oleh karyawan sebagai beban tambahan dan hal tersebut dapat mengakibatkan:

1)       Kesalahan dalam bekerja. Sebanyak 71% karyawan melaporkan bahwa karena kelebihan beban kerja mereka sering melakukan kesalahan dan hanya 1% yang hanya mengalami tekanan kerja karena kelebihan beban kerja tersebut.

2)      Perasaan takut diawasi oleh atasan. Sebanyak 43% menyatakan rasa takut karena diawasi dan hanya 3% yang menyatakan tidak mengalaminya.

3)      Perasaan tidak menyukai asistennya yang tidak bisa bekerja sesuai dengan keinginannya.

4)      Keinginan untuk mencari pekerjaan lain yang baru. Se Banyak 49 % menyatakan keinginannya untuk pindah kerja setelah mencapai masa kerja selama satu tahun karena kelebihan beban kerja dan hanya 30% yang tidak mengalami kelebihan beban kerja.

5)      Kecenderungan untuk mengucilkan diri sendiri. Hanya 41% karyawan dengan beban kerja yang tinggi yang dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sukses dan 61% mengalami hal sebaliknya. Beban kerja di lingkungan pendidikan tinggi dikenal dengan Beban Kerja Normal Dosen. 

 

Beban kerja dosen di perguruan tinggi dapat diukur dengan satuan yang disebut FTE, singkatan dari full time equivalent. Bagi perguruan tinggi di Indonesia, menurut SK Dirjen Dikti No. 48/DJ/Kep/1983, Beban kerja dosen sebesar 12 sks dalam satu semester dinilai setara dengan satu FTE (istilah Indonesia-nya: EWMP atau ekuivalen waktu mengajar penuh). Beban kerja sebesar 12 sks atau 1 FTE ini dianggap sebagai beban kerja penuh seorang dosen. Beban kerja sebesar 1 sks dinilai setara dengan beban kerja mengajarkan satu mata ajaran berbobot 1 kredit selama satu semester kepada satu kelas mahasiswa program S1 se banyak 40 orang. Perlu dicatat bahwa beban mengajar sebesar 1 sks setara dengan 3 jam kerja per minggu selama satu semester, sedangkan 3 jam per minggu ini terdiri dari 1 jam persiapan kuliah, 1 jam tatap muka,dan 1 jam evaluasi.Menurut SK Dirjen Dikti No. 48/DJ/Kep/1983 yang menjelaskan tentang Beban Kerja Dosen, beban kerja penuh seorang dosen sebesar 12 sks dalam satu semester atau 1 FTE secara rata-rata dapat tersebar untuk pelaksanaan berbagai tugas dengan kisaran sebagai berikut:

1)       Pengajaran: 2-8 sks (17-67)%.

2)      Penelitian dan pengembangan ilmu: 2-6 sks (17-50)%.

3)       Pengabdian pada masyarakat: 1-6 sks ( 8-50)%.

4)      Pembinaan civitas akademika: 1-4 sks ( 8-33)%.

5)      Administrasi dan manajemen: 0-3 sks ( 0-25)%.

 

Sementara tentang beban kerja normal dosen oleh Dirjen Dikti diperjelas melalui surat Dirjen Dikti No. 3298/D/T/99 tanggal 29 Desember 1999 dan Lampiran II-nya tentang beban kerja normal dosen. Dalam Lampiran II Surat Dirjen Dikti No. 3298/D/T/99 tanggal 29 Desember 1999 yang diperjelas adalah menyangkut rasional perhitungan jumlah jam kerja per minggu sebagai berikut:

1)       Mengajar/memberi kuliah: 1 SKS (Satuan Kredit Semester) ekuivalen dengan 3 jam pelaksanaan yang terdiri atas 1 jam tatap muka di kelas dan 2 jam persiapan menyusun bahan kuliah.

2)      Membimbing mahasiswa menyelesaikan skripsi: Skripsi mempunyai bobot 6 SKS berarti setiap mahasiswa harus menyediakan waktu 6 x 3 = 18 jam per minggu untuk mengerjakan skripsi. Karena sifat skripsi adalah tugas mandiri, maka minimal setiap mahasiswa harus berkonsultasi dengan dosen pembimbing selama 2 jam per minggu.

3)       Perwalian mahasiswa: Beban normal dosen wali adalah 20 orang mahasiswa per semester sehingga dosen mengenal setiap mahasiswa yang dibinanya. Untuk hal tersebut dosen menyediakan waktu minimal 1 jam per minggu untuk konsultasi terhadap masalah-masalah yang dihadapi oleh para mahasiswanya.

4)      Menguji ujian akhir/sidang sarjana: Setiap ujian akhir (sidang sarjana) memakan waktu 3 jam sehingga jika ada 3 mahasiswa mengikuti sidang sarjana pada akhir semester, dosen penguji harus menyediakan waktu 9 jam per semester atau 0,5 jam per minggu (1 semester ekuivalen dengan 18 minggu).

5)      Membuat diktat kuliah: Diktat kuliah diperkirakan berjumlah 100 halaman dan untuk menjamin mutu diktat yang baik diperlukan waktu menulis yang cukup. Jika 100 halaman ditulis dalam waktu 1 tahun, maka diperkirakan setiap minggu dapat ditulis 2 halaman (50 minggu efektif dalam 1 tahun) dan untuk dapat menulis 2 halaman yang bermutu diperlukan waktu 2 jam (termasuk persiapan mencari literatur, gambar, dsb.). Penelitian sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Ditjen Dikti, maka alokasi waktu yang harus disediakan oleh peneliti utama dalam melakukan penelitian Hibah Bersaing (HB) adalah 10 jam per minggu.

6)      Penulisan makalah di jurnal terakreditasi: Penulisan makalah yang diterbitkan di jurnal memerlukan waktu cukup lama, dimulai dari penulisan naskah, pengiriman ke dewan redaksi, review oleh tim  penilai, perbaikan/koreksi oleh penulis berdasarkan hasil review dan proses penyempurnaan untuk siap cetak. Menurut kaidah normal, diperlukan waktu 2 tahun dari saat mulai penulisan untuk akhirnya terbit di jurnal, dan waktu yang harus dialokasikan oleh penulis adalah ekuivalen dengan 1 jam per minggu.

7)      Pelatihan insidental: Kegiatan ini ditujukan untuk pengabdian pada masyarakat dengan memberikan jasa keahlian yang dimiliki oleh dosen tersebut. Berdasarkan kaidah normal, maka dosen mengadakan pelatihan 1 topik per semester dengan lama waktu pelatihan 3 hari kerja (ekuivalen 18 jam pelatihan). Untuk mempersiapkan bahan pelatihan diperlukan waktu minimal 18 jam, berarti diperlukan waktu 1 jam per minggu (1 semester ekuivalen dengan 18 minggu).

8)      Keanggotaan dalam panitia: Keanggotaan dalam panitia memerlukan komitmen waktu minimal untuk menghadiri rapat. Jika rapat rutin diadakan setiap 2 minggu dan setiap rapat normalnya berlangsung 2 jam maka diperlukan komitmen untuk 1 jam per minggu. Berdasarkan pemaparan diatas maka indikator yang digunakan untuk mengukur kelebihan beban kerja adalah; (1) melakukan berbagai kegiatan pendidikan, (2) melakukan berbagai kegiatan penelitian, (3) melakukan berbagai kegiatan pengabdian pada masyarakat (4) melakukan berbagai kegiatan penunjang lainnya dan (5) melakukan tugas lain di samping dosen yaitu sebagai tenaga atau sebagai pejabat struktural.

 

E.     Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan suatu perasaan yang diinginkan oleh setiap pekerja. Kepuasan kerja dapat diartikan sebagai selisih antara harapan dan kenyataan yang diterima seorang pekerja atau keadaan emosional pekerja yang menyenangkan atau tidak menyenangkan terhadap pekerjaannya. Menurut Robbins, (1996), kepuasan kerja (job satisfaction) merujuk pada sikap umum seorang individu terhadap pekerjaannya, sehingga seseorang dengan tingkat kepuasan kerja tinggi akan menunjukkan sikap positif terhadap pekerjaannya. Sebaliknya jika seseorang tidak puas dengan pekerjaannya akan menunjukkan sikap negatif terhadap pekerjaannya. Lebih lanjut Handoko, (1996) menyatakan bahwa kepuasan kerja akan menampakan sikap positif karyawan terhadap pekerjaannya dan segala sesuatu yang dihadapi di lingkungan kerjanya. Lebih luas lagi Luthans, (2001) menyatakan bahwa kepuasan kerja menyangkut beberapa hal pokok antara lain:

1)       Kepuasan kerja tidak dapat dilihat, tetapi hanya dapat diduga keberadaannya karena kepuasan kerja menyangkut persoalan emosi atau respons pekerja dari situasi kerja yang dihadapi.

2)      Kepuasan kerja menyangkut kesesuaian hasil kerja yang diperoleh dengan harapan para pekerja.

3)       Kepuasan kerja sangat terkait erat dengan persoalan; pekerjaan itu sendiri, kesempatan promosi, gaji, supervise maupun rekan kerja. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja sangat tergantung pada perbedaan antara harapan dan kenyataan yang dirasakan pekerja terhadap pekerjaannya termasuk lingkungan kerjanya. 

 

Seorang pekerja akan merasa puas jika harapannya terhadap pekerjaan termasuk lingkungan kerjanya terwujud. Beberapa teori kepuasan kerja, (Mangkunegara, 2005) antara lain:

1)       Teori keseimbangan (Equity theory); Dikembangkan oleh Adam,dengan komponennya yaitu input, outcome, comparison person, dan equity-in-equity. Teori ini menjelaskan bahwa puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan input-outcome dirinya dengan perbandingan input-outcome pegawai lainnya.

2)      Teori perbedaan (Discrepancy theory); Dipelopori oleh Proter. Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Apabila yang didapat pegawai ternyata lebih besar daripada apa yang diharapkan maka pegawai tersebut puas. Begitu pula sebaliknya apabila kebutuhan pegawai tidak terpenuhi, pegawai itu akan merasa tidak puas.

3)       Teori pemenuhan kebutuhan (Need fulfillment theory); Teori ini menjelaskan bahwa kepuasan pegawai tergantung pada terpenuhi tidaknya kebutuhan pegawai.

4)      Teori pandangan kelompok (Sosial reference group theory); Kepuasan kerja bukanlah bergantung pada pemenuhan kebutuhan saja, tetapi sangat bergantung pada pandangan dan pendapat kelompok yang oleh para pegawai dianggap sebagai kelompok acuan. Jadi pegawai akan merasa puas apabila hasil kerjanya sesuai dengan minat dan kebutuhan yang diharapkan oleh kelompok acuan.

5)      Teori dua faktor dari Herzberg; Teori ini menjadikan teori Maslow sebagai acuannya. Dua faktor yang dapat menyebabkan timbulnya rasa puas atau tidak puas yaitu: (1) faktor pemeliharaan meliputi administrasi dan kebijakan perusahaan, kualitas pengawasan, hubungan dengan pengawas, hubungan dengan subordinat, upah, keamanan kerja, kondisi kerja dan status. (2) faktor pemotivasian, yang meliputi dorongan berprestasi, pengenalan, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kesempatan berkembang dan tanggung jawab.

6)      Teori pengharapan (Expectancy theory); Teori ini dikembangkan oleh Vroom, kemudian diperluas oleh Porter, Lawler dan Davis. Motivasi merupakan suatu produk dari bagaimana seseorang menginginkan sesuatu, dan penaksiran seseorang memungkinkan aksi tertentu yang akan menentukannya. Dimana kekuatan hasrat seseorang untuk mencapai sesuatu (valensi) dikalikan harapan (kemungkinan mencapai sesuatu dengan aksi tertentu) akan menghasilkan motivasi (kekuatan dorongan yang mempunyai arah pada tujuan tertentu). Produk dari valensi dan harapan adalah motivasi yang meningkatkan dorongan dalam diri pegawai untuk melakukan aksi untuk mencapai tujuannya. Aksinya dapat dilakukan pegawai dengan cara berusaha lebih besar matau mengikuti kursus pelatihan. Hasil yang akan dicapai secara primer adalah promosi jabatan, dan gaji lebih tinggi. Hasil sekundernya, antara lain status menjadi lebih tinggi, pengenalan kembali, keputusan membeli produk dan pelayanan keinginan keluarga, dengan demikian lebih besar dorongan pegawai dalam mencapai kepuasan. Dalam praktiknya sering ditemukan kepuasan kerja berhubungan dengan beberapa variabel seperti; turnover, tingkat absensi, umur, tingkat pekerjaan, dan ukuran organisasi. Kepuasan kerja yang tinggi dihubungkan dengan turnover pegawai yang rendah, sebaliknya pekerja yang tidak puas umumnya turnover yang tinggi dan atau tingkat absensinya tinggi. Ketidakhadiran mereka sering dengan alasan yang tidak logis dan subjektif (Davis, 2004). 

 

Ketidakpuasan pekerja juga sering dinyatakan dengan berbagai cara. Misalnya berhenti bekerja, mengeluh, tidak patuh, mencuri milik organisasi atau mengelak dari tanggung jawab kerja mereka. Lebih spesifik dikemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja. Robbins, (2001) menyatakan ada 4 (empat) faktor yang mendorong kepuasan kerja yaitu:

1)       Pekerjaan yang secara mental menantang. Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan yang memberikan peluang kepada mereka untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan keberagaman tugas, kebebasan, dan umpan balik tentang bagaimana kinerja mereka. Ketika karakteristik tersebut dapat diwujudkan, maka bawahan akan merasa bangga dan puas dengan pekerjaannya.

2)      Ganjaran yang se timpal. Karyawan menginginkan sistem pembayaran dan kebijakan promosi yang adil, tidak bermakna ganda, dan sesuai dengan harapan mereka. Ketika pembayaran dipandang adil berdasarkan tuntutan pekerjaan, level keterampilan individu, dan standar pembayaran komunitas, maka kepuasan berpotensi muncul. Karyawan akan mencari kebijakan dan praktik promosi yang adil. Promosi memberikan peluang untuk pertumbuhan pribadi, peningkatan tanggung jawab, dan kenaikan status sosial. Jika individu-individu yang menganggap keputusan promosi jabatan dalam organisasi atau perusahaan dibuat secara terbuka dan adil, maka mereka berpeluang meraih kepuasan dalam pekerjaan mereka. Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Provinsi Bali I Gede Wenten Aryasuda menilai kebijakan pemerintah pusat melakukan pemangkasan tunjangan fungsional para guru swasta adalah tindakan kurang adil. "Kebijakan pemerintah tersebut kurang adil terhadap para guru swasta, apalagi gaji tunjangan yang diterima selama ini sangat kurang dibanding pengabdiannya selaku pendidik," katanya di Denpasar, Ahad (8/4). Ia mengaku sangat menyesalkan kebijakan pemerintah pusat yang memangkas kuota guru swasta di Bali yang berhak menerima tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik. Apalagi, kata dia, tunjangan fungsional dari para guru swasta ini nilainya sudah sangat minim. Hanya sebesar Rp.300 ribu per bulan. Menurut Aryasuda, hal ini tentunya tidak boleh dibiarkan terus-menerus terjadi, karena kebijakan ini sangat kontraproduktif dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan berkarakter di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Selain itu, kurang sinergi dengan upaya program peningkatan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ia mengatakan, pemberian tunjangan fungsional bagi para guru swasta tersebut merupakan amanah PP Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, sehingga pemerintah wajib menindaklanjuti aturan tersebut. Karena pada pasal 21 ayat 2, disebutkan subsidi tunjangan fungsional guru yang diangkat oleh penyelenggara pendidikan atau satuan pendidikan yang didirikan oleh masyarakat dianggarkan sebagai belanja pegawai atau bantuan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. "Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan tunjangan fungsional bagi guru swasta," ujarnya. Hal senada juga dikemukakan pengamat pendidikan Drs I Nengah Madiadnyana, bahwa bila merujuk ketentuan PP Nomor 74 tahun 2008 pemerintah semestinya punya komitmen yang kuat dalam memperjuangkan hak para guru swasta terkait tunjangan fungsionalnya sebagai pengajar atau pendidik demi meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Logikanya, kata dia, jumlah guru swasta semestinya terus ditingkatkan, dan bukan sebaliknya malahan terus dipangkas. "Terus terang saja, saya tidak habis pikir dengan kebijakan pemerintah yang terkesan kontraproduktif," ucapnya. Madiadnyana yang juga mantan Ketua PGRI Kota Denpasar ini mengakui kebijakan pemerintah pusat yang memangkas tunjangan fungsional guru swasta ini tidak mencerminkan kebijakan yang berkeadilan dan kurang manusiawi. Hal ini juga dapat memicu kesenjangan sosial yang tidak sinergi dengan program pendidikan berkarakter, karena masih ada guru swasta yang tetap menerima tunjangan.

3)       Kondisi kerja yang mendukung. Karyawan peduli dengan lingkungan kerja mereka untuk kenyamanan pribadi sekaligus untuk memfasilitasi kinerja yang baik. Karyawan lebih menyukai kondisi fisik yang tidak berbahaya dan nyaman.

4)      Mitra kerja yang yang mendukung. Bagi sebagian besar karyawan, pekerjaan juga memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial mereka. Oleh karena itu mitra kerja yang ramah dan mendukung mendorong kepuasan kerja. Perilaku atasan karyawan juga menjadi penentu kepuasan kerja. 

 

Selanjutnya Mangkunegara, (2005) menyebutkan ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu:

1)       Faktor pegawai, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara berpikir, persepsi, dan sikap kerja.

2)      Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan), kedudukan, mutu pengawasan, interaksi sosial, dan hubungan kerja. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, yang menjadi indikator kepuasan kerja adalah; (1) pekerjaan sesuai dengan keinginan dan keahlian, (2) adanya peluang promosi, kenaikan pangkat fungsional dan kenaikan jabatan yang baik, (3) gaji, honorarium dan tunjangan yang memuaskan, (4) dukungan rekan kerja, dan atasan, dan (5) adanya prestise yang baik menyangkut citra lembaga tempat mengabdi.

 

1)       Shaw dan Weekly, (1985)

The effect of objective work load variations of psychological strain and post work load performance Penelitian yang dilakukan oleh Shaw dan Weekly, (1985) ini bertujuan untuk menguji dan menganalisa pengaruh dari; work overload/underload, perceive pressure, resentment, anxiety,  depression dan hostility terhadap performance. Penelitian ini dilakukan dengan mengambil siswa baru jurusan atau konsentrasi psikologi sebagai sampel penelitian.    Variabel yang diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; work overload/underload sebagai variabel eksogen, perceive pressure, fresentment, anxiety, depression dan hostility sebagai variabel antara dan variabel endogonusnya adalah performance. Sementara; (1) work overload berpengaruh terhadap perceive pressure (perasaan tertekan), resentment, anxiety, depression and hostility dan juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap performance, (2) work under load menghasilkan perasaan untuk menikmati tugas (presentment), (3) perasaan tertekan (perceive pressure) berpengaruh negatif terhadap kinerja. Hasil analisa pertama Shaw dan Weekly inilah yang diadopsi oleh penulis untuk menguji pengaruh kelebihan beban kerja sekaligus menjadikannya sebagai salah satu variabel anteseden dari Burnout.

 

2)      Dubinsky et al., (1992)

Influence of role stres in industrial salespeople's work outcomes in The United States, Japan and Korea Dubisky, Michaels, Katobe, Lim dan Moon, (1992) melakukan penelitian pada tiga negara berbeda yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Korea dengan mengambil tenaga penjual industri sebagai sampel penelitian dengan judul “Influence of role stres in industrial salespeople's work outcomes in The United States, Japan and Korea”. Variabel penelitiannya adalah; ambiguitas peran, konflik peran, kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional dengan tujuan untuk melihat hubungan kausalitas antara variabel-variabel penelitian tersebut. Model hubungan antara variabel yang ditampilkan adalah; ambiguitas peran berpengaruh terhadap ; kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Konflik peran berpengaruh terhadap ambiguitas peran, kinerja, kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional dan kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasional. Sampel terpilih adalah tenaga penjual dari produk elektronik yang diambil dari tiga negara yaitu Amerika Serikat sebanyak 218 sampel, Jepang sebanyak 220 sampel dan Korea berjumlah 156 sampel. Instrumen pengumpulan data menggunakan kuesioner dengan skala pengukuran variabel yang dipakai adalah skala 7 (tujuh) rangking, di mana 1 (amat sangat tidak setuju) dan 7 (amat sangat setuju). Untuk menganalisis data digunakan analisis jalur (path analysis), sementara untuk membentuk model yang direkomendasikan, peneliti menggunakan uji trimming dengan sehingga koefisien jalur-jalur yang tidak signifikan akan direduksi atau dibuang.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa; (1) Konflik peran mempunyai hubungan positif dengan ambiguitas peran dan keduanya berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasi, (2) konflik peran tidak berpengaruh terhadap kinerja pada 2 sampai 3 sampel, (3) ambiguitas peran mengurangi kinerja dan komitmen organisasi, (4) ambiguitas peran tidak berhubungan dengan kepuasan kerja pada 2 sampai 3 sampel, (5) kinerja berhubungan positif dengan kepuasan kerja pada 2 sampai 3 sampel dan (6) kepuasan kerja berhubungan positif dengan komitmen organisasi. Untuk pengembangan penelitian-penelitian di masa mendatang diharapkan dilakukan di negara-negara lain dengan sampel yang berbeda. Disarankan bagi penelitian yang akan datang untuk meneliti tentang elemen-elemen dari tingkat kepuasan kerja pada berbagai negara. Kontribusi pemikiran Dubinsky et al., (1992) inilah yang diadopsi dalam penelitian ini khususnya dalam pemilihan sampel dengan memilih dosen Perguruan Tinggi sebagai sampel terteliti. Di samping itu juga penelitian ini berusaha untuk mengeksplorasi keterkaitan antara hubungan variabel anteseden Burnout serta konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja dengan menggunakan manifes-manifes yang berbeda sehingga menghasilkan suatu variabel penelitian yang berbeda pula untuk mengukur tingkat kepuasan kerja pada sampel terteliti.

 

3)      Moncrief et al., (1997)

Examination the antecedent and consequences of salespeople's job Stres Moncrief, Babakus, Cravens Dan Johnston, (1997) dengan judul Examination the antecedent and consequences of sales peoples job stresmengekstensi oleh Seger, (1994) dalam “a structural model depicting salespeople’s job stres yaitu konflik peran dan ambiguitas peran sebagai variabel anteseden dari tekanan kerja. adalah kepuasan kerja, tekanan kerja, hasil yang diharapkan dan komitmen organisasional serta kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan. Model konseptual dari variabel anteseden dan konsekuensi dari tekanan kerja tersebut adalah sebagai berikut; ambiguitas peran berpengaruh terhadap konflik peran, tekanan kerja, dan kepuasan kerja. Peran konflik berpengaruh terhadap kepuasan kerja, tekanan kerja, hasil yang diharapkan. Selanjutnya tekanan kerja berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap hasil yang diharapkan dan kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan. Kemudian hasil yang diharapkan berpengaruh terhadap komitmen organisasional dan komitmen organisasional berpengaruh terhadap kecenderungan untuk keluar dari pekerjaan.  Contoh diambil adalah tenaga penjualan yang dipilih dari perusahan pelayaran internasional yang berskala besar. Pemilihan sampel ini direpresentasikan oleh besarnya kompensasi di atas gaji dasar ditambah komisi yang diterima oleh sampel terpilih dengan jumlah sampel keseluruhan berjumlah 188 tenaga penjual. Alat analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis jalur (path analysis dengan menggunakan program LISREL 7,0) dengan tujuan untuk menguji pengaruh secara langsung maupun secara tidak langsung dari variabel-variabel yang diteliti. kepada identifikasi variabel anteseden yang dapat dikontrol dan yang tidak dapat dikontrol seperti faktor besarnya kompensasi (dapat dikontrol) yang diterima dan faktor-faktor lain serta pengaruhnya terhadapnya sebagai variabel anteseden dari tekanan kerja. Hal ini menjustifikasi bahwa variabel penelitian yang diteliti oleh penulis adalah relevan dengan yang disarankan oleh Moncrief et al., (1997) juga berusaha untuk menganalisis variabel anteseden Burnout namun terfokus hanya pada konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. Yang membedakan antara oleh Moncrief et al., (1997) adalah bahwa untuk  mengembangkan variabel anteseden dari model Burnout yaitu dengan menambahkan variabel motivasi intrinsik dan kelebihan beban kerja sebagai prediktor Burnout sehingga variabel anteseden Burnout yang dibangun mampu untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena penelitian yang terjadi.

 

4)      Babakus et al., (1999)

The role of emotional exhaustion in salesforce attitude and behavior relationship tentang kelelahan emosional tenaga penjual yang dilakukan oleh Babakus, Cravens, Johnston dan Moncrief, (1999) adalah tentang peran kelelahan emosional dalam hubungan antara sikap, kekuatan penjualan dan perilaku. Objek dan subjek dalam adalah manajer pemasaran yang menempatkan tenaga penjual dilapangan sebagai objek tertelitinya dan hubungan antar ambigiutas peran, konflik peran, kelelahan emosi, komitmen organisasional, kepuasan kerja, dan kinerja serta keinginan untuk keluar dari pekerjaan sebagai subjeknya. Menurut Babakus et al., (1999) pengujian kelelahan emosional dengan menggunakan tenaga penjual di lapangan sangat menarik karena hanya ada satu kajian dengan menggunakan sampel terteliti yang sama yang pernah dilakukan oleh Boles, Johnson dan Hair (1997). Menurut Babakus et al., (1999), kelelahan emosional adalah sebuah konstruk penting dalam menguji perilaku dan sikap tenaga penjual. Salah satu sikap yang amat disfungsional yang sewaktu waktu dapat menimbulkan stres berat adalah Burnout yang adalah karakter sebuah sindrom kelelahan emosional dan sinisme yang terjadi pada individu pekerja di lapangan. Model konseptual yang ditampilkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut; kelelahan emosional dipengaruhi oleh ambiguitas peran dan konflik peran. Kemudian Burnout tersebut mempengaruhi komitmen organisasional, kepuasan kerja dan kinerja. Komitmen organisasional dan kepuasan kerja mempengaruhi keinginan untuk keluar dari pekerjaan. Sementara itu menurut model yang ada, terdapat pengaruh konflik peran terhadap; kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Ambiguitas peran juga mempengaruhi konflik peran, kepuasan kerja dan kinerja. Model ini juga memperlihatkan adanya pengaruh kinerja terhadap kepuasan kerja dan komitmen organisasional. Hasil kajian Babakus et al., (1999) ini adalah; (1) ambiguitas berpengaruh positif terhadap konflik peran, negatif terhadap komitmen organisasi, positif terhadap Burnout, negatif terhadap kinerja(, 2) konflik peran berpengaruh positif terhadap Burnout negatif terhadap kepuasan dan positif terhadap kinerja, (3) Burnout berpengaruh negatif terhadap kepuasan, komitmen dan kinerja, (4) kinerja berpengaruh positif terhadap kepuasan, (5) kepuasan berpengaruh positif terhadap komitmen dan negatif terhadap keinginan untuk keluar, dan (6) komitmen berpengaruh negatif terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

Yang menarik bahwa Babakus et al., (1999) menjustifikasi bahwa penelitian tentang kelelahan emosional bahkan Burnout dapat terjadi pada semua lapangan kerja yang menempatkan seseorang sebagai pekerja garis depan yang selalu berinteraksi (bertatap muka) secara langsung dengan penerima layanan. Hubungannya dengan penelitian ini yaitu bahwa rekomendas Babakus et al., (1999) diadopsi penulis dalam penelitian ini yaitu dengan memilih dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS) sebagai sampel terteliti karena faktor interaksi langsung yang dihadapi oleh seorang dosen baik dengan atasan, rekan sejawat, staf administrasi dan terlebih dalam interaksi dengan mahasiswa dalam bentuk perkuliahan, seminar, bimbingan ataupun dalam bentuk interaksi lainnya.

 

5)      Brashear et al., (2000)

A test of retail salesforce turnover in Romania Brashear, Rosenberger III, Brooks dan Acevedo, (2000) melakukan penelitian ilmiah ini dengan mengambil judul “A test of retail salesforce turnover in Romania”, dengan tujuan secara umum untuk melihat kecenderungan tingkat turnover pada tenaga penjualan retail di Rumania. Kajian ini dilakukan di Rumania dengan beberapa alasan yaitu; karena Rumania dipandang sebagai salah satu pasar yang penting di Eropa Timur yang memiliki lokasi yang dipandang sentral, memiliki populasi penduduk yang besar serta tingkat pertumbuhan ekonomi yang baik. Fenomena yang melatar-belakangi penelitian ini adalah karena pengaruh dari sistem perdagangan bebas sehingga menyebabkan adanya perubahan-perubahan yang harus segera dilakukan oleh perusahaan dan wirausaha lokal, di mana mereka harus mampu mengaplikasikan sistem manajemen penjualan negara negara barat dengan sebelumnya perlu untuk mengetahui tentang pengaruh yang dapat saja terjadi pada bidang usaha mereka. Fokus dan tujuan secara khusus dari penelitian ini akan lebih terpusat pada pengujian secara empiris tentang tingkat kinerja, kepuasan dan turnover yang terjadi pada tenaga penjualan di Rumania. Untuk mencapai fokus dan tujuan tersebut maka model hubungan antar variabel terteliti yang akan diuji dalam penelitian ini adalah; ambiguitas konflik berpengaruh terhadap kinerja, kepuasan, dan komitmen. Peran konflik berpengaruh terhadap kinerja dan kepuasan. Antara ambiguitas peran dan konflik peran terdapat hubungan timbal balik (reciprocal). Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap kepuasan dan komitmen. Kepuasan juga berpengaruh terhadap komitmen dan komitmen berpengaruh terhadap tingkat turnover.

Dengan menggunakan analisis Structural Equation Models (SEM) dengan bantuan program LISREL 8,30, Brashear et al., (2000) memberikan hasil antara lain; ambiguitas peran dan konflik peran memiliki hubungan negatif dengan kinerja dan kepuasan. Kemudian kinerja dan kepuasan berhubungan positif dengan komitmen organisational. Komitmen berhubungan negatif dengan kecenderungan tingkat turnover. Hubungannya dengan penelitian ini yaitu, penulis dalam penelitian ini berusaha untuk mengekstensi model Brashear et al., (2000) dengan memasukan variabel lain yaitu kelebihan beban kerja dan motivasi intrinsik dengan tetap mengadopsi konflik peran sebagai variabel anteseden Burnout serta menguji pengaruh antara variabel anteseden Burnout dan konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja.

 

6)      Low et al., (2001)

Antecedents and consequences of salesperson Burnout Low, Cravens, Grant, Moncrief, (2001) dalam penelitiannya yang  berjudul “Antecedents and consequences of salesperson Burnout”, mengambil sampel sebanyak 148 tenaga penjualan di Australia sebagai objek terteliti. Menurut Low et al., (2001) bahwa Burnout dianggap penting sebagai penelitian karena beberapa alasan antara lain; pertama karena pengaruh negatif dari Burnout pada karyawan dapat menyebabkan biaya turnover yang tinggi dan pasti akan menurunkan produktivitas. Kedua, dengan memahami tentang peran dari Burnout maka dapat menjadi pedoman bagi manajemen untuk mengurangi pengaruh yang dapat ditimbulkan dan ketiga yaitu terdapat hubungan yang erat antara Burnout, sikap dan perilaku individu dalam organisasi (Lee dan Ashforth, 1996 dan Singh et al.,1994).

Model konseptual yang ditampilkan oleh Low et al., (2001) lewat variabel-variabel yang diteliti antara lain; peran konflik, motivasi intrinsik, ambiguitas peran, Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi dan kinerja serta keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Sedangkan hubungan antar variabelnya adalah; peran konflik terhadap Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Motivasi intrinsik berpengaruh terhadap peran konflik, ambiguitas peran, Burnout, kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. 

Burnout berpengaruh terhadap kepuasan kerja, komitmen organisasi, kinerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Kepuasan kerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Komitmen organisasional dan kinerja berpengaruh terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Dalam model konseptual ini yang menjadi variabel anteseden dari Burnout adalah konflik peran, motivasi intrinsik dan ambiguitas peran. Populasi target dari penelitian ini adalah tenaga penjualan di Australia. karena tentang Burnout hanya dilakukan di Amerika Serikat. Sampel dipilih dari berbagai perusahaan seperti telekomunikasi, jasa pengiriman, jasa pengepakan barang dan lain-lain. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah judgment sampling method dengan jumlah sampel sebesar 148 tenaga penjualan. Hasil penelitian ini mempertegas penemuan peneliti-peneliti terdahulu yaitu (Sigh et al., 1994 dan Babakus et al., 1999) yaitu; (1) semakin tinggi motivasi intrinsik maka konflik peran akan semakin rendah, (2) semakin tinggi motivasi intrinsik maka ambiguitas peranakan semakin rendah, (3) semakin tinggi ambiguitas peran maka konflik peran akan semakin besar, (4) semakin tinggi motivasi intrinsik maka Burnout akan semakin rendah, (5) semakin tinggi ambiguitas peran maka Burnout akan semakin tinggi pula, (6) semakin tinggi konflik peran maka Burnout akan semakin tinggi, (7) semakin tinggi Burnout maka akan menurunkan tingkat kepuasan kerja, (8) tingkat motivasi intrinsik yang semakin tinggi memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja, (9) semakin tinggi ambiguitas peran akan menurunkan tingkat kepuasan kerja, (10) semakin tinggi tingkat konflik peran akan menurunkan tingkat kepuasan, (11) tingkat Kepuasan yang semakin tinggi akan berpengaruh negatif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (12) tingkat komitmen yang semakin tinggi akan berpengaruh negatif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (13) semakin tinggi ambiguitas peran akan berpengaruh positif terhadap niat untuk meninggalkan pekerjaan, (14) semakin tinggi ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap kinerja, (15) semakin tinggi Burnout akan menyebabkan kinerja menjadi rendah dan (16) semakin tinggi kinerja maka komitmen pun akan semakin tinggi serta (17) semakin tinggi kinerja akan menurunkan niat untuk meninggalkan pekerjaan. Melakukan saran yang dikemukakan oleh Low et al., (2001) untuk mengkaji lebih lanjut tentang Burnout yang dihubungkan dengan tingkat kepuasan kerja dalam kondisi dan situasi yang berbeda dengan memasukan variabel lain (kelebihan beban kerja) untuk diteliti. Kelebihan beban pekerjaan dipilih untuk diteliti lebih didasarkan pada realitas fenomena yang terjadi.

 

7)      Zagladi, (2004)

Pengaruh kelelahan emosional terhadap kepuasan kerja dan kinerja dalam pencapaian komitmen organisasional Dosen Perguruan Zagladi, (2004) dalam “Pengaruh kelelahan emosional terhadap kepuasan kerja dan kinerja dalam pencapaian komitmen organisasional Dosen Perguruan Tinggi Swasta” menggunakan beberapa variabel penelitian yaitu; beban kerja, penghargaan, lingkungan keluarga, konflik peran, kelelahan emosional, kinerja dan kepuasan kerja serta komitmen organisasional. 

Kemudian kelelahan emosional tersebut mempengaruhi kinerja dan kepuasan kerja. Selanjutnya kinerja berpengaruh terhadap penilaian kinerja dan penilaian kinerja tersebut berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Kemudian kinerja dan kepuasan kerja mempengaruhi komitmen organisasional. yang tinggi berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja. Selanjutnya kepuasan kerja yang tinggi berpengaruh terhadap kinerja. Serta kepuasan kerja dan kinerja berpengaruh terhadap komitmen organisasi.

 

 

 

8)      Lankau et al., (2006)

The mediating influence of role stresors in the relationship between mentoring and job attitudes. Penelitian ini dilakukan oleh Lankau, Carlson, Nielson, (2006) bertujuan untuk menganalisis pengaruh dua peran stresor yaitu peran konflik dan ambiguitas peran terhadap hubungannya dengan aktivitas aktivitas mentoring dan sifat dari pekerjaan. Pada bagian pendahuluan penelitian ini Lankau et al., (2006) melihat bahwa aktivitas mentoring adalah merupakan salah satu subjek penelitian yang cukup bervariasi dalam dua dekade terakhir. Hal berikutnya yang melatarbelakangi penelitian ini adalah bahwa ternyata hanya terdapat 3 (tiga) penelitian yang menganalisis tentang mediasi pengaruh antara peran stres terhadap mentoring dan sikap. Penelitian-penelitian tersebut dilakukan oleh (1) Young dan Pierre, (2000), (2) Lankau dan Scandura, (2002) dan (3) Day dan Allen, (2002). Lankau et al., (2006) dalam penelitian ini mengusulkan adanya pengurangan terhadap peran stres sehingga pada akhirnya mampu untuk menjelaskan tentang mengapa aktivitas-aktivitas mentoring seperti; dukungan vocational, dukungan psikologi dan peran model berpengaruh secara positif terhadap sikap dari tenaga mentor. Dimensi aktivitas-aktivitas mentoring yang terdiri dari dukungan vocational, dukungan psikologi dan peran model. Dimensi kedua adalah dimensi peran stres yang terdiri dari peran konflik dan ambiguitas peran dan dimensi terakhir adalah dimensi sikap yang terdiri dari kepuasan kerja dan komitmen organisasi. (1) peran stres memediasi hubungan antara dukungan vocational dan sikap mentor sikap mentor dan (3) peran stres memediasi hubungan antara dukungan model dan sikap mentor. sampel yang dipilih dalam penelitian ini adalah lulusan bisnis manajemen yang secara acak terpilih dari universitas bagian barat serta universitas bagian timur laut di Amerika Serikat dengan totalnya sebesar 355 sampel. Hasil analisis menunjukan bahwa ternyata peran stres memediasi hubungan antara dukungan vocational dan sikap mentor. Hipotesis kedua dan ketiga-pun ternyata terdukung oleh hasil analisa yang dilakukan yaitu, peran stres memediasi hubungan antara dukungan psikologi dan sikap mentor serta peran stres juga memediasi hubungan antara dukungan model dan sikap mentor. Keterbatasan adalah bahwa semua pengukuran yang digunakan diperoleh dari laporan pribadi responden sehingga mungkin saja akan bias, karena perbedaan metoda umum dan konsistensi responden. Untuk mengatasinya maka Lankau et al., (2006) mengusulkan untuk juga mengkaji persepsi yang berasal dari tenaga mentor itu sendiri khususnya menyangkut aktivitas-aktivitas mentoring dan peran stres yang dialaminya. Selanjutnya Lankau et al., (2006) juga mengusulkan untuk menganalisa lebih lanjut tentang perspektif keterlibatan mentor serta dampak peran stres yang ditimbulkan karena ada kemungkinan bahwa tugas mentoring dapat menjadi satu sumber Burnout yang signifikan untuk tenaga mentor, terutama dalam kaitan dengan peran konflik, ambiguitas peran dan kelebihan beban kerja yang harus dijalankannya. Hubungan antara penelitian oleh Lankau et al., (2006) dengan penelitian ini adalah bahwa rekomendasi penelitian oleh Lankau et al., (2006) ini yang coba untuk diteliti lebih lanjut oleh penulis, yaitu peran konflik dan kelebihan beban kerja akan dianalisis sebagai variabel anteseden Burnout serta juga menganalisa variabel lainnya yang relevan dengan fenomena yang terjadi.

 

9)      Bhanugopan, (2006)

An empirical investigation of job Burnout among expatriates Penelitian oleh Bhanugopan, (2006) dilakukan dengan tujuan untuk menguji hubungan antara Burnout dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dengan mengambil sampel penelitian adalah manajer ekspatriat di Papua New Guinea (PNG) dengan judul” An empirical investigation of job Burnout among expatriate”. Terdapat dua konsep besar yang digunakan untuk melihat hubungan antara determinan konsep-konsep tersebut dengan Burnout dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan di mana konsep tersebut akan terwakilkan oleh variabel-variabel yang akan diuji. 

Konsep dimaksud adalah; pertama, konsep karakteristik pekerjaan yang terdiri dari role conflict, role ambiguity dan role overload. Konsep kedua adalah konsep dimensi Burnout terdiri dari emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishments. Model hubungan antar variabel terteliti yang ditampilkan adalah role conflict, role ambiguity dan role overload berpengaruh terhadap emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments. Emotional exhaustion, depersonalization dan reduced personal accomplishments berpengaruh terhadap Burnout dan Burnout sendiri berpengaruh terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner dengan mengadopsi skala pengukuran Likert sebagai skala pengukuran jawaban responden. Bhanu Gopan, (2006) dalam penelitian ini membagikan kuesioner sebanyak 300 buah dan yang kembali hanya sebanyak 189 yang akhirnya dijadikan sebagai sampel penelitian ini.  Hasilnya Bhanugopan, (2006) mengemukakan bahwa; (1) role conflict, role ambiguity dan role overload berhubungan positif secara signifikan terhadap dimensi Burnout (emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishments), (2) emotional exhaustion, depersonalization and reduced personal accomplishments yang dialami oleh pekerja akan membuat mereka mengalami Burnout, (3) Burnout berhubungan positif secara signifikan terhadap kecenderungan turnover. Bhanu Gopan, (2006) juga menyarankan untuk penelitian penelitian di masa mendatang untuk meneliti secara lebih mendalam tentang hubungan dimensi Burnout dengan pengaruh organisasional dan karakteristik individu. Yang diadopsi penulis dari penelitian Bhanugopan, (2006) ini adalah menyangkut hubungan antar role conflict dengan Burnout dan juga menyangkut saran bagi penelitian mendatang yakni mencoba untuk melibatkan unsur individu terutama menyangkut motivasi intrinsik sebagai variabel anteseden dari Burnout.

 

10)   Harris et al., (2006)

Role stresors, service worker job resourcefulness, and job outcomes: An empirical analysis. Harris, Artis, Walters, Licata, (2006) dalam penelitiannya yang ber judul “Role stresors, service worker job resourcefulness, and job outcomes: An empirical analysis” secara umum bertujuan untuk menyoroti pentingnya upaya untuk mengurangi peran stresor untuk meningkatkan keseluruhan efisiensi dan efektifitas perusahaan. 

Fenomena yang diangkat adalah sebuah tema yang sedang populer di dunia bisnis yaitu “do more with less” yang adalah sebuah ungkapan yang bermakna adanya usaha untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dalam organisasi. Tema ini lebih difokuskan kepada bagaimana menggunakan karyawan yang ada didalam perusahaan untuk bekerja secara lebih produktif dengan sumberdaya yang terbatas. Fenomena berikutnya adalah tentang Burnout (ambiguitas dan konflik peran) yang ternyata sangat mempengaruhi tingkat pemenuhan sumberdaya yang ada di dalam perusahaan, tingkat kepuasan dan juga tingginya tingkat turnover seperti yang dikemukakan oleh Licata (2003). Variabel-variabel yang digunakan oleh Harris et al., (2006) dalam penelitian ini adalah kepribadian, peran konflik dan ambiguitas peran, job resourcefulness, orientasi konsumen, kepuasan kerja serta keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. 

Adapun model hubungan antar variabel penelitian ini adalah kepribadian berpengaruh terhadap job resourcefulness, peran konflik dan ambiguitas peran berpengaruh terhadap job resourcefulness, kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Selanjutnya job resourcefulness berpengaruh terhadap orientasi konsumen, kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan dan orientasi konsumen berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan. Sampel penelitian ini yang dipilih adalah karyawan retail pada perbankan berskala besar di Amerika Serikat menunjukan bahwa semua  yang antara lain adalah sebagai berikut: 

a)      Kontrol kepribadian dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan job resourcefulness.

b)      Kontrol kepribadian dan peran konflik berhubungan negatif dengan job resourcefulness.

c)       Pengaruh ambiguitas peran terhadap job resourcefulness lebih besar dibandingkan pengaruh peran konflik terhadap job resourcefulness.

d)      Job resourcefulness berhubungan positif dengan orientasi konsumen.

e)      Job resourcefulness berhubungan positif dengan kepuasan kerja.

f)       Orientasi konsumen memediasi pengaruh job resourcefulness terhadap kepuasan kerja.

g)      Job resourcefulness berhubungan negatif dengan keinginan untuk meninggalkan pekerjaan.

h)      Orientasi konsumen memediasi pengaruh job resourcefulness terhadap keinginan untuk meninggalkan pekerjaan Harris et al., (2006) mengusulkan dalam rangka generalisasi serta untuk perkembangan topik penelitian ini maka sebaiknya penelitian mendatang juga menganalisa dimensi kepribadian lainnya seperti layanan profesional, dimensi keramah tamahan dan dimensi layanan lainnya yang berhubungan dengan karakteristik yang dibutuhkan dalam suatu pekerjaan seperti keterbukaan dan ketelitian yang tinggi. Kontribusi penelitian Harris et al., (2006) untuk penulisan ini adalah pengadopsian hubungan variabel konflik peran dengan kepuasan kerja sebagai bagian dari model konseptual penelitian.

 

11)     Karatepe dan Teknik, (2006)

The effects of work-family conflict, emotional exhaustion, and intrinsic motivation on job outcomes of front-line employees Penelitian ini dilakukan oleh Karatepe dan Tekinkus, (2006) ini dilakukan di Turki dengan tujuan untuk menganalisa dampak dari (1) konflik keluarga-pekerjaan terhadap kelelahan emosional, kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen afektif organisasi, (2) kelelahan emosional terhadap kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen organisasi (3) pengaruh motivasi intrinsik terhadap kelelahan emosional, kinerja pekerjaan, kepuasan pekerjaan, dan komitmen organisasi (4) kinerja pekerjaan terhadap kepuasan pekerjaan dan komitmen organisasi. konflik keluarga pekerjaan) mempunyai efek positif signifikan terhadap kelelahan emosional, dan motivasi intrinsik mempunyai dampak negatif signifikan terhadap kelelahan emosional. Hasil lainnya berdasarkan analisis jalur, yaitu bahwa konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional tidak berpengaruh signifikan terhadap kinerja pekerjaan, terdapat pengaruh positif yang signifikan dari motivasi intrinsik terhadap kinerja pekerjaan. Hasil juga mengungkapkan bahwa konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional berpengaruh negatif yang signifikan terhadap kepuasan pekerjaan. Sementara motivasi intrinsik dan kinerja pekerjaan mempunyai   efek positif yang signifikan terhadap kepuasan pekerjaan, konflik keluarga-pekerjaan dan kelelahan emosional berpengaruh negatif terhadap komitmen afektif organisasi. Hasil selanjutnya adalah bahwa motivasi intrinsik mempunyai dampak positif signifikan terhadap komitmen afektif organisasi, dan kemudian hasil yang terakhir menunjukan bahwa kinerja pekerjaan dan kepuasan pekerjaan mempunyai efek positif yang signifikan terhadap komitmen afektif organisasi.

 

12)    Kurzum et al., (2008)

Predictors of Burnout among middle managers in the Turkish hospitality industry. Kuru Uzum, Anafarta dan Irmak, (2008) melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk menguji, memprediksi serta melihat predictor terpenting dari pengaruh kepuasan kerja, karakteristik pekerjaan dan karakteristik demografi terhadap Burnout dengan objek terteliti manajer tingkat menengah pada industri kesehatan di Turki. Fenomena penelitian ini dimulai dari kondisi pekerjaan industry kesehatan yang digambarkan sebagai suatu pekerjaan dengan prosedur yang kompleks, tingkat hubungan pekerja yang intensif pada setiap jenjang pekerjaan. Khusus untuk manajer tingkat menengah di Turki, tuntutan pekerjaan mengharuskannya untuk selalu melakukan kontak langsung dengan konsumen dan mereka juga dituntut untuk bekerja dalam waktu yang lebih panjang, harus diperhadapkan dengan bermacam permintaan konsumen, keinginan atau kebutuhan pekerja dan kebijakan-kebijakan perusahaan. Hal-hal tersebut disimpulkan dapat melahirkan Burnout khususnya secara umum pada manajer tingkat menengah. 

 

13)    Henkens dan Leenders, (2010)

Burnout and Older Workers. Fenomena utama dari penelitian ini adalah bahwa semakin tingginya partisipasi angkatan kerja pada usia tua yang terjadi di Belanda. Fenomena ini segera diantisipasi dengan cepat oleh pemerintah Belanda dengan melancarkan kebijakan-kebijakan formal lewat program pensiun dini. Dengan mengadopsi asumsi yang digunakan pada penelitian empiris sebelumnya, penelitian ini berasumsi bahwa pensiun dini dapat dilihat sebagai bentuk penarikan dari organisasi dalam upaya untuk menghindari situasi kerja yang tidak memuaskan, yang dapat dibandingkan dengan bentuk lain dari penarikan diri (salah satu ciri Burnout) seperti absensi atau penarikan psikologis. Berdasarkan asumsi tersebut maka fokus dari penelitian ini  adalah menganalisis hubungan antara Burnout dengan niat untuk pensiun dini.

Model konseptual  ini menggambarkan tentang  determinan dari Burnout. Pertama adalah karakteristik pekerjaan, yang teraktualisasi melalui beban kerja yang tinggi, tingkat otonomi pekerjaan, tantangan pekerjaan, tuntutan beban pekerjaan. Kedua adalah dukungan sosial yang meliputi dukungan manajer, dukungan kolega dan dukungan rekan kerja. Data penelitian ini bersumber dari informasi yang dikumpulkan selama survey pada tahun 2001 oleh Institute Demografi Interdisciplinar Belanda (NIDI). Sebanyak 2.892 karyawan pada 4 perusahaan swasta dan 1 perusahaan pemerintah dijadikan sebagai sampel penelitian.

Umur sampel rata-rata adalah diatas 50 tahun, dengan 76% adalah laki-laki, 41% di antaranya memiliki tingkat pendidikan rendah, 28% tingkat menengah dan 31% berpendidikan tinggi.

Alat analisis yang digunakan adalah menunjukkan bahwa kelelahan, sinisme, dan kompetensi (dimensi Burnout) merupakan reaksi terhadap aspek yang berbeda dari pekerjaan dan lingkungan sosial mereka, kelelahan sebagian besar dijelaskan oleh beban kerja yang tinggi, kurangnya tantangan, tingginya tuntutan fisik pekerjaan, dan rendahnya dukungan sosial.Sinisme dijelaskan terutama oleh kurangnya tantangan dan beban kerja yang tinggi dan kurangnya dukungan kolega. Kompetensi dijelaskan oleh tantangan, dukungan beban kerja yang berat, otonomi, dan kurangnya dukungan sosial dari rekan kerja. 

Menunjukkan bahwa kelelahan signifikan dimediasi efek dari beban kerja, tantangan dan peluang pertumbuhan pada niat pensiun. Burnout berhubungan positif dengan niat untuk pensiun. Sementara efek beban kerja pada niat pensiun sepenuhnya dimediasi oleh kelelahan. Keterbatasan penelitian ini antara lain yaitu bahwa penelitian ini dilakukan dalam waktu yang relatif singkat (studi cross-sectional) dan yang kedua adalah faktor tingkat kesehatan karyawan yang berusia lanjut tidak diperhatikan dalam penelitian ini. Sementara hubungannya dengan penelitian ini adalah sama-sama menganalisis faktor-faktor penyebab Burnout terutama pada variabel beban kerja namun Henkens dan Leenders tidak meneliti konsekuensinya yang ditimbulkan oleh Burnout tersebut.

 

14)    Izquierdo et al., (2010)

 Applying Information Theory to Small Groups Assessment: Emotions and Well-Being at Work. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh emosi, desain pekerjaan hubungannya dengan tingkat kesehatan dengan menggunakan sampel awak kabin maskapai penerbangan atau (CC-Cabin Crew). Topik penelitian ini dipilih karena menurut peneliti bahwa salah satu kunci untuk kinerja pekerjaan yang memadai untuk sejumlah besar pekerja di sektor jasa berpusat pada ekspresi emosi. Variabel-variabel yang dianalisis dalam penelitian ini meliputi variabel emosional. Variabel ini diaktualisasikan melalui penularan emosional (EC) yang adalah proses dimana perasaan dan kerangka pikiran seorang individu ditransfer ke orang sekitarnya. bahwa penularan emosi menjelaskan proporsi yang signifikan dari varians dalam kelelahan emosional. Selain itu beberapa penelitian menunjukkan bahwa perasaan negatif lebih mudah menular daripada yang positif (EW-Well Being) sehingga berpotensi untuk melahirkan Burnout. Selain EW, variabel lain telah diperhitungkan, terutama yang berhubungan dengan pekerjaan desain. 

Desain pekerjaan juga berhubungan dengan stres EW dan bekerja, seperti dalam kasus kasus di mana konflik dan ambiguitas peran muncul. Rizzo, House & Lirtzman (1970) menunjukkan bahwa ambiguitas peran dicirikan oleh persepsi ketidaksesuaian antara harapan yang berbeda, tuntutan, dan  perilaku selama bekerja. Sementara konflik peran ditandai oleh persepsi ketidaksesuaian antara tuntutan, harapan dan perilaku yang berbeda di tempat kerja. Variabel EW juga berhubungan dengan kelelahan. Sindrom ini didefinisikan sebagai kelelahan emosional, sikap negatif terhadap orang lain pada umumnya klien, (depersonalisasi), dan efisiensi yang rendah di tempat kerja (kinerja pribadi berkurang) (Maslach & Jackson, 1986). Salah satu aspek penting dari kerangka emosional adalah pengaturan diri yang adalah elemen yang stabil yang memungkinkan individu untuk memandu kegiatan tujuan mereka dari waktu ke waktu dan tindakan. Aspek lainnya yang menggambarkan emosi adalah self efficacy merupakan rasa kompetensi yang membantu untuk mengatasi kesulitan dalam situasi menuntut tertentu. Kesimpulannya bahwa model konseptual yang dibangun dalam penelitian ini akan menggambarkan hubungan antara organisasi dan variabel pekerjaan desain (EW, peran dan konflik ambiguitas) berhubungan dengan variabel kesehatan. Sampel penelitian sebanyak 181 awak kabin pada sebuah maskapai penerbangan sipil dengan karakteristik sebagai berikut: semua responden adalah wanita, di antaranya 60% adalah sarjana dan 40% berpendidikan sekolah menengah, usia mereka berkisar  antara 22-45 tahun, dengan usia rata-rata adalah 32,8 tahun. Hasil penelitian menunjukan bahwa perasaan cemas Kecemasan dijelaskan oleh emosi negatif, ambiguitas peran dan konflik peran. Disfungsi sosial dijelaskan oleh konflik peran, emosi positif dan Self Efficacy.

Depresi dijelaskan oleh variabel konflik peran. Burnout dijelaskan oleh konflik peran, emosi negatif, penularan emosional dan disonansi emosional. Hubungannya dengan penelitian ini adalah sama menganalisis dimensi Burnout lewat determinannya khususnya konflik  peran.

 

15)    Hamwi et al., (2011)

Reducing Emotional Exhaustion and Increasing Organizational Support Penelitian ini dilakukan oleh G. Alexander Hamwi, Brian N. Rutherford dan James S. Boles dengan tujuan untuk menjelaskan secara mendalam tentang determinan stres dan pengaruhnya terhadap kelelahan emosional individu dan persepsi individu tersebut terhadap dukungan organisasional. Guna memperoleh data penelitian, maka sebanyak 188 kuesioner dibagikan kepada karyawan yang berasal dari perusahaan iklan di selatan Amerika Serikat. Dari 188 kuesioner tersebut, 136 kuesioner dikembalikan dan selanjutnya dianalisis. Sampel penelitian ini terdiri dari 72% adalah laki-laki dengan umur rata-rata 30 tahun dan telah memiliki pengalaman bekerja selama 6,6 tahun, 73% diantaranya adalah lulusan perguruan tinggi dengan pendapatan rata-rata berkisar antara $9,600 sampai dengan $75,000 (tanpa bonus).    untuk menganalisis hubungan antara determinan stres yakni konflik peran dan ambiguitas peran terhadap persepsi dukungan organisasional dan kelelahan emosional, kemudian hubungan antara persepsi dukungan organisasional dengan konflik pekerjaan-keluarga dan kelelahan emosional serta hubungan antara konflik pekerjaan-keluarga terhadap kelelahan emosional. Hasil analisis menunjukan bahwa konflik peran berpengaruh negatif terhadap dukungan organisasional, ambiguitas peran berpengaruh negatif terhadap dukungan organisasional, dukungan organisasional berpengaruh negatif terhadap konflik pekerjaan keluarga, konflik peran berpengaruh positif terhadap kelelahan emosional dan persepsi dukungan organisasional tidak berpengaruh terhadap kelelahan emosional serta konflik pekerjaan-keluarga berpengaruh positif terhadap kelelahan emosional. Keterbatasan dari penelitian ini antara lain pertama, penelitian ini hanya meneliti persepsi karyawan, sementara dalam kenyataannya informasi yang berasal dari manajer sebuah perusahaan juga tidak kalah pentingnya. Kedua, tingkat generalisasi hasil penelitian ini akan melemah karena hanya meneliti pada satu perusahaan saja. Berdasarkan keterbatasan tersebut maka untuk penelitian yang akan datang disarankan untuk meneliti pada perusahaan-perusahaan penghasil barang dan jasa serta melibatkan beberapa variabel lain  yang berhubungan dengan organisasi seperti komitmen dan tingkat turnover karyawan. Hubungannya antara penelitian ini adalah sama-sama menggunakan variabel yang sama yaitu konflik peran dan kelelahan emosional (kelelahan emosional dalam penelitian ini merupakan salah satu indikator Burnout). Sementara bedanya adalah penelitian Hamwi ini lebih difokuskan pada determinan stres serta konsekuensinya terhadap dukungan organisasional, konflik pekerjaan-keluarga dan kelelahan emosional sementara penelitian ini lebih khusus menganalisis pengaruh anteseden Burnout serta konsekuensinya terhadap tingkat kepuasan kerja. Konflik peran, kelebihan beban kerja dan motivasi intrinsik adalah merupakan ekstensi model anteseden Burnout yang dikembangkan penulis dalam penelitian ini. Sebelumnya model anteseden Burnout telah diteliti oleh beberapa peneliti terdahulu yang sebagian modalnya diadopsi penulis untuk memenuhi tujuan penelitian ini. Pengembangan (ekstensi) model penelitian ini dibangun berdasarkan model penelitian yang dilakukan oleh; Babakus et al., (1999) dalam “The role of emotional exhaustion in salesforce attitude and behavior relationship” yang menggunakan ambiguitas peran dan konflik peran sebagai variabel yang menyebabkan terjadinya salah satu dimensi Burnout yaitu kelelahan emosional pada 203 tenaga penjualan di Amerika Serikat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

HUBUNGAN ANTARA MANUSIA DENGAN SESAMANYA

EKONOMI MANAJERIAL