Pemikiran politik machiavelli (Politik Barat)
Machiavelli adalah seorang filsuf yang hidup dalam zaman renaisans.
Lahir tahun 1469 di Florence, italia. Namanya cukup terkenal dalam ilmu politik
bahakan menjadi salah satu tokoh dalam filsafat politik. Sebagai salah satu
tokoh yang terlibat dalam dunia politik dan ketika Machiavelli berumur dua
puluh Sembilan tahun memperoleh kedudukan tinggi dipemerintahan sipil di
Florence. Selama empat belas tahun sesudah itu dia mengabdi kepada republic
Florentine dan terlibat dalam berbagai missi diplomatic atas namnaya, melakukan
perjalanan ke prancis, jerman dan didalam negeri italia. Machiavelli menulis
beberapa buku, dua diantaranya yangpaling masyhur adalah The Prince, (Sang
Pangeran) ditulis tahun 1513, dan TheDiscourses upon the First Ten Books of
Titus Livius (Pembicaraan terhadap sepuluhbuku pertama Titus Livius).
Machiavelli tumbuh dibawah hukum anggota dinasti Medici yang mendapat
gelar Lorenzo the Magnificent dari masyarakat Florentine, dan
zaman Lorenzo sering dilukiskan sebagai zaman Agustus dari Renaissance Italia.
Lorenzo sendiri adalah humanis terhormat, penyair dan menjadi panutan (patron)
seniman maupun kalangan terpelajar.
Pada saat itu Machiavelli adalah sebagai ahli teori dan figur
utama dalam realitas teori politik, ia sangat disegani di Eropa pada masa
renaissance. Dua buku yang terkenalnya adalah Discorsi sopra la prima
deca di tito livio(Diskursus tentang Livio) dan II Principe (Sang
Pangeran), awalnya ditulis sebagai harapan untuk memperbaiki kondisi
pemerintahan di Italia Utara. Karya Machiavelli itu membuatnya dikenal sebagai
seorang ilmuwan politik Renaisans. Namun ada beberapa ilmuwan politik yang
menentangnya karena menurutnya Machiavelli bukanlah seorang ilmuwan politik
karena ia kurang memiliki basis metodelogi dan pemikiran politik yang
sistematik. Jdi tujuan kepentingan politik pribadi Machiavelli dengan penulisan
buku itu. Machiavelli berharap dengan saran-saran dan nasehat politiknya ia
bias merikrut sebagai pejabat pemerintahan.
2. Metode-Metode
Pemerintahan yang Efektif dalam Beberapa bentuk Kepenguasaan
Untuk mencapai sukses, seorang penguasa harus dikelilingi dengan
menteri-menteri yang mampu dan setia, Machiavelli memperingatkan penguasa agar
menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan.
seorang penguasa yang cermat tidak harus memegang kepercayaannya jika pekerjaan
itu berlawanan dengan kepentingannya.
The Prince (Sang
Pangeran) sering dijuluki orang “buku petunjuk untuk para diktator.” Karier
Machiavelli dan berbagai tulisannya menunjukkan bahwa secara umum dia cenderung
kepada bentuk pemerintahan republik ketimbang pemerintahan diktator.
Machiavelli berpendapat bahwa nilai-nilai yang tinggi, atau yang dianggap
tinggi, adalah berhubungan dengan kehidupan dunia, dan ini dipersempit pula
hingga kemasyhuran, kemegahan, dan kekuasan belaka. Machiavelli menolak adanya
hukum alam, yang seperti telah diketahui adalah hukum yang berlaku untuk
manusia sejagat dan sesuai dengan sifat hukum, mengikat serta menguasai
manusia. Machiavelli menolak ini dengan mengemukakan bahwa kepatuhan pada hukum
tersebut, malah juga pada hukum apapun pada umumnya bergantung pada soal-soal
apakah kepatuhan ini sesuai dengan nilai-nilai kemegahan, kekuasaan, dan
kemsyhuran yang baginya merupakan nilai-nilai tinggi. Bahkan menurut pendapatnya
inilah kebajikan. Machiavelli mengatakan bahwa untuk suksesnya seseorang, kalau
memang diperlukan, maka gejala seperti penipuan dibenarkan. Misalnya, ia
mengakui bahwa agama mendidik manusia menjadi patuh, dan oleh sebab kepatuhan
ini perlu untuk suksesnya seorang yang berkuasa, maka perlulah agama tadi. Jadi
agama itu diperlukan sebagai alat kepatuhan, bukan karena nilai-nilai yang
dikandung agama itu.
Gagasan kekuasaan
machiavelli patut dikaji setidaknya karena dua alasan, yaitu :
· Gagasannya
telah menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering bagi banyak penguasa
sejak awal gagasan itu dipopulerkan sampai abad XX.
· Banyak
negarawan dan penguasa dunia yang secara sembunyi atau terus terang mengakui
telah menjadikan buku Machiavelli itu sebagai hand book (buku pegangan) mereka
dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaannya. Misalnya Hitler dan
Mussolini. Gagasan yang sama telah menjadi basis intelektual bagi pelaksanaan
diplomasi kaum realis (realisme).
Realisme sebagai suatu aliran penting dalam kajian diplomasi
internasional, banyak mendasarkan asumsinya pada pemikiran kekuasaan
Machiavelli.
Dalam kaitannya dengan
kekuasaan seorang penguasa Machiavelli membahas perebutan kekuasaan (kerajaan).
Bila seseorang penguasa berhasil merebut suatu kerajaan maka ada cara
memerintahkan negara yang baru saja direbut itu. Pertama, memusnahkannya sama
sekali dengan membumihanguskan negara dan membunuh seluruh kelurga penguasa
lama, Kedua dengan melakukan kolonisasi mendirikan pemukiman-pemukiman baru dan
menempatkan sejumlah besar pasukan infantry di wilayah koloni serta menjalin
hubungan baik dengan negara-negara tetangga terdekat.
3. Tentang
Machiavelli dan Nasihat Machiavelli dalam Politik dan Kekuasaan
Niccolo Machiavelli, termasyhur karena nasihatnya yang
blak-blakan bahwa:
“Seorang penguasa yang
ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu
muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman penggunaan
kekuatan”. http://media.isnet.org/iptek/index/Machiavelli.html.
The
Prince dapat dianggap nasihat praktek terpenting buat seorang kepada negara.
Pikiran dasar buku ini adalah, untuk suatu keberhasilan, seorang Penguasa harus
mengabaikan pertimbangan moral sepenuhnya dan mengandalkan segala, sesuatunya
atas kekuatan dan kelicikan. Machiavelli menekankan di atas segala-galanya yang
terpenting adalah suatu negara mesti dipersenjatai dengan baik. Dia
berpendapat, hanya dengan tentara yang diwajibkan dari warga negara itu sendiri
yang bisa dipercaya; negara yang bergantung pada tentara bayaran atau tentara
dari negeri lain adalah lemah dan berbahaya.
Machiavelli
menasihatkan sang Pangeran agar dapat dukungan penduduk, karena kalau tidak,
dia tidak punya sumber menghadapi kesulitan. Tentu, Machiavelli maklum bahwa
kadangkala seorang penguasa baru, untuk memperkokoh kekuasaannya, harus berbuat
sesuatu untuk mengamankan kekuasaannya, terpaksa berbuat yang tidak menyenangkan
warganya. Dia usul, meski begitu untuk merebut sesuatu negara, si penakluk
mesti mengatur langkah kekejaman sekaligus sehingga tidak perlu mereka alami
tiap hari kelonggaran harus diberikan sedikit demi sedikit sehingga mereka bisa
merasa senang.
Untuk mencapai sukses, seorang Pangeran harus dikelilingi dengan
menteri-menteri yang mampu dan setia Machiavelli memperingatkan Pangeran agar
menjauhkan diri dari penjilat dan minta pendapat apa yang layak dilakukan.
Menurut Asvi Warman Adam bahwa “Sejarah mengajarkan kepada kita apa yang tidak
dapat kita lihat, untuk memperkenalkan kita kepada penglihatan yang kabur sejak
kita lahir”. Wineburg (2006: vii) Namun menurut kami tujuan dari sejarah
mengajarkan kita sebuah cara menentukan pilihan untuk memptertimbangkan
berbagai pendapat untuk membawakan berbagai kisah dan meragukan sendiri bila
perlu kisah-kisah yang kita bawakan.
Filosofi politik dari Machiavelli adalah nilai-nilai yang tinggi atau
yang dianggap tinggi dan penting berhubungan dengan kehidupan dunia, khususnya
menyangkut kemasyhuran, kemegahan serta kekuasaan belaka, karenanya sangat
menolak adanya hukum alam yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia
dan umat manusia di jagat ini. Ia menolak pandangan tersebut dengan mengemukakan
bahwa kepatuhan kepada hukum tersebut bahkan hukum apapun sangat tergantung
apakah semua itu sesuai dengan kekuasaan, kemasyhuran, dan kemegahan
sebagai nilai-nilai tertinggi. Persoalan dasar filsafat Machiavelli adalah
bagaimanakah cara seorang pemimpin itu dapat membela kekuasaannya, menjaga
stabilitas keamanan negaranya dan juga kesejahteraan rakyatnya. Machiavelli
adalah seorang yang realis dan tampil berhadapan dengan realitas konkret dunia
politik, dunia kekuasaan dan dunia penataan negara. Menghindari keterpecahan,
mencegah invasi pihak-pihak luar, mengalahkan musuh yang mengancam kekuasaan
dan wibawa pemerintahan serta mempertahankan keutuhan negara dan sejenisnya
adalah persoalan konkret yang dihadapi oleh Machiavelli.
Niccolo Machiavelli merupakan seorang pemikir politik dan sosial yang
memberikan kontribusi besar bagi perkembangan perpolitikan di Eropa pada abad
ke 15-16 M, kontribusinya yang masih dikenal hingga saat ini adalah bukunya
yang berjudul “The Prince” dimana tulisan ini hadir karena pada masanya
Machiavelli melihat bobroknya sistem pemerintahan yang ada disebabkan karena
lemahnya penguasa pada saat sehingga tulisannya ini merupakan jawaban bagaimana
seorang penguasa seharusnya bertindak agar tetap mempertahankan kekuatannya
sebagai seorang penguasa. Menurut Machiavelli seorang pemimpin bertindak
berdasarkan kondisi lingkungan sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa
pemimpin tersebut akan melakukan hal-hal negatif. Selain itu, menurut
Machiavelli seorang penguasa harus memiliki sifat-sifat positif dan negatif
hanya jika itu dibutuhkan sehingga ini akan menjadi seorang penguasa yang kuat
dan dapat membawa negaranya menjadi negara yang unggul, maju dan besar. Dengan
demikian dapat kita ambil benang merah dari pemikiran Machiavelli bahwa
selayaknya seorang pemimpin harus dapat bersikap fleksibel sehingga dapat
menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitar sehingga ia dapat terus
bertahan dan selain itu ia juga memiliki sifat-sifat positif maupun negatif
yang diperlukan untuk memajukan negaranya.
Abad pertengahan merupakan jaman dimana negara berada di bawah dominasi
kekuasaan rohani gereja Katolik. Segala bentuk kekuasaan, hukum, undang-undang,
serta pranata-pranata sosial masyarakat dikaitkan dengan Tuhan. Tuhan menjadi
sumber dan pusat segala kegiatan manusia. Model kekuasaan ini mulai mengalami
krisis ketika manusia mulai menyadari dirinya sebagai makhluk yang bebas. Awal
kesadaran manusia inilah yang disebut sebagai pencerahan atau jaman
Renaissance. Jaman Renaisaance memunculkan para tokoh dan filsuf besar yang
berjuang melawan dominasi agama.
Salah satu tokoh Renaissance yang terkenal adalah Machiavelli. Ia
mempersoalkan tentang kekuasaan gereja yang sangat mendominasi negara. Ide
pokok pemikirannya adalah negara jangan sampai dikuasai oleh agama, sebaliknya
negara harus mendominasi agama. Menurutnya, agama dapat mendukung patriotisme
dan memperkuat pranata-pranata kebudayaan. Konsep ini dibuatnya berdasarkan
pemahamannya tentang agama Romawi kuno, bukan berdasarkan realitas kekristenan
pada masanya. Menurutnya, agama Romawi kuno lebih bersifat integratif
dibandingkan agama Kristen. Agama Romawi kuno berhasil mempersatukan negara,
membina loyalitas, dan kepatuhan rakyat terhadap otoritas penguasa Romawi.
Gagasan pragmatis Machiavelli tidak hendak mengatakan bahwa ia seorang
ateis. Hal yang ia persoalkan dalam agama bukanlah ada tidaknya Tuhan, tetapi
fungsi agama dalam kehidupan masyarakat dan politik. Dengan adanya gagasan yang
demikian, sebetulnya Machiavelli berhasil memperlihatkan bahwa agama tidak
sekeramat yang disangka orang. Agama hanyalah salah satu pranata dalam
kehidupan bermasyarakat yang bisa difungsikan. Menurutnya, penguasa yang cakap
adalah dia yang mampu melihat agama sebagai suatu kekuatan yang bisa digunakan
untuk memperkuat negara atau melayani kepentingan negara.
Dalam melihat
fungsi dan peran agama, Machiavelli memberikan kritik terhadap cara hidup kaum
klerus dan kekristenan. Ia mengkritik kekristenan yang terlalu menyanjung dan
memuliakan orang-orang yang sederhana dan yang senang berkontemplasi dari pada
orang yang suka bertindak. Kekristenan terlalu mengidealkan kelembutan dan
kerendahan hati dan amat meremehkan hal-hal duniawi. Kekristenan juga
ikut membentuk sikap egois masyarakat, sehingga masyarakat mengabaikan negara
sebagai persekutuan politik dan lebih mementingkan kepuasan rohani secara
pribadi. Gereja dan pemimpin agama yang seharusnya mengajarkan nilai kebaikan
dan moralitas, justru menjadi penyebab kemerosotan moral dan iman yang pada
akhirnya menghancurkan Italia.
Dalam situasi
kekacauan serta kemerosotan moral masyarakat, Machiavelli menganjurkan kepada
kekristenan dan kaum klerus untuk kembali menghidupkan prinsip dan nilai awali,
sehingga kekristenan dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Para pemimpin Gereja
yang telah menyimpang dari prinsip dasar kekristenan dihimbau untuk menghidupi
kembali prinsip-prinsip yang telah diletakkan oleh pendiri. Jika kekristenan
dan kaum klerus dapat hidup sesuai dengan semangat awali, maka dengan
sendirinya negara dan masyarakat akan menjadi beradab. Agama dikatakan memiliki
kekuatan, karena dalam agama terdapat nilai politis yang dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan negara. Nilai politis agama yang dimaksudkan Machiavelli
antara lain adalah: agama dapat membentuk moralitas masyarakat, agama
mampu mempersatukan masyarakat, agama dapat dijadikan sebagai alat bagi
penguasa untuk mencapai kekuasaan, serta memudahkan suatu Negara . Berdasarkan
sejarah Romawi kuno, agama dapat membangkitkan keberanian tentara.
Sebagai seorang tokoh
humanis sejati, Machiavelli mempelajari dan mengagumi sejarah serta karya
manusia, termasuk agama pada zaman purba. Bagi Machiavelli, agama merupakan
salah satu karya manusia yang patut mendapat pujian tertinggi. Dalam Discoursus, Machiavelli menulis:
‘Di antara orang-orang
yang pantas dipuji, yang paling pantas dipuji adalah para pemimpin dan pendiri
agama-agama”.
Dalam menguraikan
pendapatnya tentang politik agama, Machiavelli terispirasi oleh sejarah
kerajaan Romawi kuno serta oleh berbagai situasi yang terjadi di sekitarnya.
Berikut ini penulis memaparkan faktor-faktor yang melatar belakangi pemikiran
Machiavelli tentang nilai politis agama.
Machiavelli juga mempersoalkan interpretasi agama tentang
semangat dan penghayatan kekristenan. Menurutnya, semangat dan penghayatan yang
diajarkan oleh kekristenan adalah keliru. Ketika itu agama Kristen ditafsirkan
sebagai agama bagi manusia yang lembut dan rendah hati serta yang cinta akan
pengurbanan. Machiavelli menghendaki reformasi di bidang keagamaan yang
menunjang perkembangan patriotisme. Reformasi yang dikehendakinya adalah usaha
reinterpretasi tentang semangat kekristenan secara baru, yakni agama yang
aktif dan peka terhadap realitas, agar dari sana terhembus suatu kekuatan,
sehingga membangkitkan semangat masyarakat dan menyelamatkan mereka dari
dekadensi moral.
Komentar
Posting Komentar