MERIT SISTEM DALAM BIROKRASI DI ERA REFORMASI
Pendahuluan
Semenjak reformasi bergulir, gaung reformasi
birokrasi telah menjadi agenda bersama dalam mengatasi krisis saat itu, namun
justru reformasi birokrasi masih tertinggal jauh dibandingkan dengan reformasi
politik dan reformasi perundang-undangan. Jika melihat kebelakang maka
perjalanan bangsa ini dalam membenahi dirinya dalam hal reformasi birokras.
Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Pada saat orde lama dan orde baru, keberadaan birokrasi disalahartikan oleh penguasa, yang pada akhirnya birokrasi dijadikan tunggangan untuk tetap mempertahankan kekuasaan.
Sejak Indonesia merdeka dan seiring dengan
perkembangannya, sistem, sifat maupun bentuk birokrasi juga mengalami
perkembangan. Perubahan demi perubahan silih berganti bergantung pada siapa
yang berkuasa dan bagaimana dan bagaimana penguasa itu melaksanakan
kekuasaannya. Berikut adalah beberapa catatan tentang birokrasi sejak Indonesia
merdeka. Pertama, periode awal kemerdekaan ini, tahun 1945-1950, dapat
dikatakan birokrasi pemerintahan kita masih netral. Mungkin, karena masih
dijiwai semangat kemerdekaan dan semangat persatuan. Kedua, tahun 1950-1959,
ditandai dengan politisasi birokrasi. Partai-partai politik berlomba-lomba
untuk menguasai kementerian. Rekrutmen PNS dan penentuan jabatan tidak
obyektif. Kelompok-kelompok birokrasi berafiliasi kepada partai-partai politik.
Ketiga, tahun 1960-1965, partai-partai politik dari aliran-aliran politik
Nasakom bersaing untuk menguasai birokrasi pemerintahan. Keempat, masa Orde
Baru hingga tahun 1998, birokrasi pemerintah menjadi kendaraan politik Golkar.
Kemenangan Golkar dalam enam kali pemilu terutama berkat peranan birokrasi.
Pada masa Orde Lama, ketiga aliran politik masing-masing mempunyai kapling pada
birokrasi. Sedangkan masa Orde Baru, birokrasi dikuasai Golkar. Kelima, era
reformasi, politisasi birokrasi pemerintahan di Indonesia saat ini cenderung
menghasilkan oligarki, yaitu kekuasaan berada ditangan sejumlah kecil orang
pada puncak partai-partai politik yang berkuasa.
Presiden Megawati pun mengatakan, sulit
memegang leher pejabat eselon I dan eselon II. Namun, ada indikasi bahwa
partai-partai politik yang berkuasa cukup aktif untuk merebut dan meraup
sumber-sumber dana dari birokrasi kita. Money politics telah membuat semakin
melemahnya birokrasi ala Weber.
|Politisasi birokrasi yang terbentuk dalam
kerangka oligarki ini jelas berbeda bentuk dan caranya dibanding periode Orde
Baru yang cenderung berdasarkan pelembagaan (Pancasila sebagai asas tunggal,
Golkar/Korpri, atau monoloyalitas). Mungkin, saat ini kita tengah menghadapi
apa yang dirumuskan oleh Robert Michels sebagai iron law of oligarchy (hukum
baja oligarki). Menurut hukum ini, demokrasi dan organisasi skala besar
tidaklah serasi (incompatible). Michels menyebut, organisasi skala besar ini
dihadapkan dengan masalah koordinasi yang hanya dapat dipecahkan dengan
menciptakan birokrasi yang efisien Pemilu tahun 2004 yang mengantarkan SBY – JK
sebagai Presiden saat ini, boleh dibilang kebaradaan PNS dalam menyalurkan
aspirasi politiknya cukup netral, meskipun ada upaya yang dilakukan oleh
panguasa saat itu untuk memanfaatkan PNS sebagai basis dalam meraih dukungan
untuk duduk sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Kenetralan PNS ini didukung
dengan UU N0. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.
Perjalanan tersebut member gambaran kepada
kita tentang model birokrasi yang mana yang sekiranya dapat kita pandang lebih baik.
San sistem yang bagaimanakan yang sekiranya kemudian dapat diterapkan di
Indonesia yang dapat mendukung perkembangan negara Indonesia di segala aspek
kehidupan ke arah yang lebih baik.
Kajian Teoritis Birokrasi
Secara
etimologis birokrasi berasal dari kata biro atau bureau yang
berarti kantor ataupun dinas, dan krasi atau cracy, kratie yang
berarti pemerintahan. Dengan demikian birokrasi secara etimologis merujuk
pada makna dinas pemerintahan. Namun istilah birokrasi dapat dikembalikan juga
pada berbagai istilah dari berbagai negara. Seperti istilah biro
atau bureau, yang berarti meja tulis atau suatu tempat
tertentu untuk bekerja bagi para pejabat. Birokrasi dalam istilah bahasa Yunani
berarti aturan atau rule, dalam bahasa Perancis berarti bureaucratie. Sedangkan
birokrasi dalam bahasa Jerman berarti bureaukratie. Terakhir
untuk pemaknaan birokrasi dapat diambil dari bahasa Italia, birokrasi
berarti burocracia.
Penjelasan mengenai birokrasi diawali dengan melihat birokrasi sebagai sebuah organisasi. Berikut ini dijabarkan beberapa teori yang menjelaskan pengertian mengenai organisasi ini. Pemahaman tentang teori organisasi dapat dibagi berdasarkan masa dimana teori itu lahir .
- Teori
organisasi klasik. Teori klasik ini muncul dan berkembang pada
tahun 1930an, dimana kemudian ia menjadi perspektif teori organisasi yang
dominant pada masa tersebut. Teori klasik ini mengajarkan pokok-pokok
ajaran sebagai berikut;
- Organisasi ada untuk memperoleh
angka produksi dengan tujuan-tujuan ekonominya.
- Untuk mengorganisasikan produksi
dengan cara terbaik diketahui dengan melakukan penelitian yang sistematik
dan ilmiah.
- Produksi dimaksimalkan dengan
spesialisasi serta pembagian kerja. Individu manusia dan organisasi
bekerja harus sesuai dengan prinsip rasionalitas dan efisiensi.
Inti ajaran di atas
menunjukkan adanya refleksi dari nilai sosial yang ada pada saat tersebut, di
mana hak-hak manusia dalam suatu organisasi belum dihargai dengan baik.
Individu manusia pada masa tersebut masih dianggap sebagai bagian dari
produksi yang setaraf dengan mesin yang memang menjadi bagian produksi juga.
Dengan demikian konsep
teori organisasi klasik dapat dimengerti dalam konteksnya dengan nilai sosial
yang ada pada saat itu. Teori fenomenal Max Weber tentang birokrasi
lahir pada masa ini, di mana teori tersebut tetap bertahan sampai masa
kontemporer, bahkan menjadi penjelasan yang dominan. Uraian tentang
penjelasan Weber mengenai birokrasi sebagai organisasi dijelaskan tersendiri
pada bagian berikutnya dari bab ini secara lebih panjang lebar, dengan
mengingat bahwa terlepas dari berbagai kritik dan analisis banyak ilmuwan
politik terhadap pemikiran politik Weber tentang birokrasi, namun sejauh ini
pemikiran Weber tentang birokrasi dapat dikatakan sangat luas dan selalu
menjadi rujukan berbagai macam aliran dalam memahami birokrasi.
- Berikutnya adalah pengertian tentang organisasi
dalam penjelasan aliran neoklasik. Bahwasanya aliran neoklasik
ini menjadi aliran gerakan yang berinisiatif dan mencoba untuk
melepaskan diri dari pandangan mekanistis yang dianggap oleh pendukung
aliran neoklasik ini terlalu sederhana dari ajaran teori organisasi
klasik dalam memahami tentang organisasi. Aliran ini kemudian dalam
perkembangannya dianggap mampu untuk mengajukan isu dan teori yang
dapat dipergunakan sebagai landasan dan pedoman bagi pengikutnya.
Salah satu tema utama dalam aliran ini ini adalah upaya untuk
membuka organisasi dari ketertutupannya selama ini. Ada anggapan
yang kuat aliran terhadap aliran ini, dimana aliran neoklasik ini
dianggap terlalu dipengaruhi oleh pendekatan sosiologi, antara lain
bahwa organisasi terdiri dari individu-individu yang tujuan dan
aspirasinya tidak mesti harus sama dengan tujuan dari organisasi. Termasuk
didalamnya adalah penjelasan teori dari Talcot Parsons (1956)
yang menjelaskan bahwa organisasi merupakan sistem sosial yang berusaha
untuk mencapai tujuan tertentu dalam usahanya untuk mencapai tujuan pokok
dari sistem yang lebih besar, misalnya organisasi yang lebih besar atau
masyarakat itu sendiri. Aliran neoklasik inilah yang merupakan awal dari
sistem terbuka dari teori organisasi.
- Berikutnya adalah teori organisasi struktural
modern. Teori ini berjaya pada tahun 1960-1970an. Antara
lain yang menjadi pokok ajaran ini dalam teori ini menjelaskan
bahwa organisasi merupakan institusi yang rasional yang bercitacita
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam organisasi.
Perilaku organisasi yang rasional dapat dicapai dengan baik melalui suatu
sistem aturan yang jelas dan otoritas yang formal dalam organisasi
tersebut. Struktur organisasi dikatakan baik jika dirancang sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai yang memang sudah menjadi kesepakatan,
kondisi lingkungan dimana organisasi itu berada, pelayanan yang dihasilkan
organisasi, serta teknologi yang digunakan dalam
pelayanan tersebut, hingga kesemuanya mendukung terciptanya sebuah
struktur organisasi secara keseluruhan. Sementara spesialisasi dan
pembagian kerja dalam organisasi akan mampu untu mendorong peningkatan
kualitas dan kuantitas pelayanan oleh organisasi. Struktur yang ada dalam
organisasi akan berpengaruh kuat terhadap upaya penyelesaian yang
dilakukan oleh organisasi, apakah mampu diselesaikan dengan baik atau
tidak berkaitan erat dengan struktur organisasi tersebut. Struktur yang
baik dalam organisasi relatif akan mendorong terciptanya penyelesain yang
dilaksanakan oleh organisasi terhadap sebuah masalah dapat juga
berlangsung dengan baik. Kondisi yang demikian lebih kurang akan berlaku
pada kondisi yang sebaliknya.
- Aliran sistem yang melihat suatu organisasi sebagai
sebuah tatanan yang kompleks dan dinamis dari unsur-unsur yang saling
terkait. Unsur-unsur tersebut meliputi unsur input, proses, output
serta saluran feedback dan lingkungan di mana
sebuah sistem tersebut berada. Perubahan dalam suatu unsur dalam
sistem akan mempengaruhi terhadap keadaan unsur yang lain dalam
sistem tersebut. Keterjalinan dan keterikatan yang terjadi antara
unsur-unsur didalam sebuah sistem tersebut merupakan
sesuatu ikatan yang kompleks namun dapat berkembang secara dinamis.
Terdapat dua tema utama dalam aliran organisasi sebagai suatu
sistem yaitu penerapan teori general system dalam
organisasi, serta penggunaan teknik dan metode kuantitatif guna
mengetahui hubungan yang kompleks antara variabel-variabel organisasi
untuk mencapai keputusan yang maksimal.
- Aliran kekuasan dan politik. Aliran ini dalam
memahami organisasi bukanlah sebagai sesuatu yang tidak realistis
dan tidak kehabisan akan nilai praksis dari organisasi tersebuut. Organisasi
dalam aliran ini dipandang sebagai sistem koalisi atau perkumpulan antar
individu dalam suatu masyarakat namun kompleks. Setiap kegiatan
dalam organisasi mempunyai kepentingan, kepercayaan, nilai serta
perspektif sendiri menurut persepsi yang berlaku secara intern dalam
organisasi tersebut. Sementara sumberdaya yang dipunyai oleh organisasi
jumlahnya terbatas. Selain itu dalam organisasi terdapat juga
spesialisasi dan pembagian kerja yang berakibat pada munculnya kesatuan-kesatuan
kecil dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda. Keadaan tersebut
menjadikan adanya konflik-konflik dalam organisasi, yang menggunakan
kekuasaan, pengaruh, kegiatan politik sebagai kekuatan dalam pertarungan
antar individu maupun kelompok didalamnya. Tujuan organisasi dalam aliran
ini merupakan hasil bargaining dan maneuvering,
antara individu dan koalisi yang ada dalam organisasi. Koalisi yang ada
tersebut cenderung menjadi sarana yang dapat dengan mudah berganti,
dan melampaui batas vertikal maupun horinsontal. Dengan demikian
tujuan organisasi menurut aliran ini akan berkembang sesuai dengan
berubahnya keseimbangan kekuasaan di antara koalisi yang ada didalamnya.
- Aliran kebudayaan. Aliran ini melihat organisasi
dengan memfokuskan analisis pada organisasi dan orang-orang yang berada
didalamnya. Aliran ini menekankan bahwa suatu kebudayaan yang hidup pada
organisasi dianggap tidak dapat melepaskan diri dari kebudayaan yang
hidup dalam masyarakat dimana organisasi itu berada. Oleh
karena itu banyak perilaku organisasi dan keputusan organisasi yang
ditentukan oleh pola dasar asumsi yang telah hidup lama dalam
organisasi tersebut. Pola dasar asumsi ini sangat mengakar dan sudah
diterima sebagai kenyataan dalam organisasi. Dengan demikian kebudayaan
dalam organisasi mampu untuk secara kuat mengontrol perilaku
organisasi. Namun juga pada akhirnya kebudayaan tersebut seringkali
juga menghambat gerak organisasi untuk berubah dan berkembang
secara dinamis. Penjelasan aliran ini tentang kuatnya pengaruh
kebudayaan tidak berarti menjadikan aliran ini mengabaikan
preferensi pribadi anggota organisasi, meskipun tetap dianggap bahwa
preferensi pribadi dalam organisasi tetap dikendalikan oleh nilai, norma,
dan asumsi yang hidup dalam organisasi. Kebudayaan yang hidup dalam
organisasi dapat berbeda antar organisasi satu dengan organisasi lainnya,
karena jelas masing-masing kebudayaan tidak selalu muncul dan berkembang
dalam waktu yang bersamaan. Sementara faktor yang mempengaruhi
terbentuknya juga sangat beragam, misalnya budaya masyarakat
setempat dimana organisasi itu berada, suasana pasar secara luas, gaya
kepemimpinan dan sebagainya.
Birokrasi menurut Martin Albrow digunakan
sejak tahun 1745 oleh Vincent de Gounnay untuk menerangkan pemerintahan Prusia.
Birokrasi lahir tepat pada waktunya, tatkala pemeliharaan ketertiban dan
ketenteraman dan kemudian upaya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
menempati prioritas pertama. Penerangan konsep ini berlangsung secara luas dan
berkembang di negara industri di Eropa dan Amerika. Birokrasi yang secara
etimologis berarti 'kekuasaan di belakang meja' atau meminjam definisi Lance
Castle adalah "orang-orang digaji yang berfungsi dalam pemerintahan".
Dalam kacamata awam birokrasi adalah aparat pemerintah (pegawai negeri), yang
dalam jargon Korpri sebagai abdi negara (yang melayani negara) bukan sebagai
abdi rakyat (civil servant) yang melayani masyarakat. Birokrasi juga
dapat diartikan sebagai government by bureaus, yaitu pemerintahan
biro oleh personil yang diangkat oleh penguasa. Kadangkala birokrasi diartikan
sebagai pemerintahan yang kaku, macet, dan segala tuduhan yang negatif terhadap
instansi yang berkuasa (red tape).
Rasanya kurang afdol kalau kita membahas
birokrasi tanpa menyinggung Weber. Walaupun sesungguhnya Weber secara eksplisit
tidak mendefinisikan birokrasi. Birokrasi rasional oleh Weber dibebankan dengan
birokrasi patrimonial. Pada pengertian pertama, birokrasi yang dimaksud
memisahkan secara tajam antara kantor dan si pemegang jabatan, kondisi yang
tepat untuk pengangkatan dan kenaikan pangkat, hubungan otoritas yang disusun
secara sistematis antara kedudukan, serta hak dan kewajiban yang diatur dengan
tugas. Sedangkan birokrasi patrimonial, kedudukan dan tingkah laku seluruh hirarki
sebagian besar bergantung pada hubungan personal-kekeluargaan atau patront-client.
Birokrasi yang paling rasional terlebih dahulu mempersyaratkan
proposisi-proposisi menurut legitimasi dan otoritas, serta memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Para anggota staf secara pribadi bebas, hanya
menjalankan tugas-tugas impersonal jabatan mereka.
2. Ada hirarki jabatan jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan suatu
kontrak
5. Mereka dipilih dengan kualifikasi profesional.
6. Memiliki gaji dan pensiun.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerja pokoknya.
8. Terdapat struktur karir dan promosi atas dasar
merit sistem dan keunggulan.
Apa yang dikemukakan Weber tentang birokrasi
rasional merupakan lembaga administratif belaka. Secara fungsional birokrasi
dalam suatu negara diperlukan dan berguna memperlancar urusan-urusan
pemerintahan dan pelayanan publik. Birokrasi mendapat konotasi positif.
Sedangkan menurut pandangan Marx, The
bureaucracy had eventually become a caste which claimed to posess, through
higher education, the monopoly of the interpretation of the state's interests. Style birokrasi
pada masa Orde Baru mirip dengan sinyalemen Marx di atas, yang memonopoli
interpretasi atas kebenaran, ideologi, dan simbol-simbol negara. Meminjam
istilah Karl D.Jackson model birokrasi Orde Baru disebut bureaucratic
polity yang salah satu cirinya adalah bahwa suasana politik menentukan
diri dan otonom vis a vis lingkungan domestik. Politik
terwujud sebagai persaingan antara lingkaran birokrat-birokrat tingkat tinggi
berpangkat tinggi dan perwira-perwira militer. Kepolitikan birokrasi ini
menurut Crouch dicirikan oleh 3 hal:
1. lembaga politik yang dominan adalah birokrasi.
2. Parlemen, parpol, kelompok kepentingan berada
dalam keadaan lemah tanpa mampu mengontrol birokrasi.
3. Massa di luar birokrasi secara politik adalah
pasif.
Apa yang dikemukakan oleh Jackson dan Crouch
di atas, tidak terlepas dari strategi Soeharto dalam mempertahankan kekuasaan
selama 32 tahun dengan jalan mengkooptasi kekuatan nonnegara berada dalam
kontrol dirinya melalui legitimasi UU, pengebirian UUD 45, Keppres, serta
mengucilkan dan menjebloskan kelompok oposan. Sehingga monopoli kekuasaan berada
di tangannya. Kekuasaan Soeharto dan birokrasi selama 32 tahun tanpa
terkontrol, hasilnya adalah kasus mega KKN serta, mental aparat yang bobrok.
Merit system dalam Birokrasi Indonesia
Penerapan sistem merit (merit
system) yaitu adanya kesesuaian antara kecakapan yang dimiliki seorang
pegawai dengan jabatan yang dipercayakan kepadanya, meliputi tingkat pendidikan
formal, tingkat pendidikan non formal/diklatpim, pendidikan dan latihan teknis,
tingkat pengalaman kerja, dan tingkat penguasaan tugas dan pekerjaan. Sedangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan sistem merit (merit system) dalam
kebijakan promosi jabatan di daerah meliputi regulasi, kontrol eksternal dan
komitmen pelaku.
Setiap kali dibuka pendaftaran calon Pegawai
Negeri Sipil (PNS), pelamarnya selalu membeludak. Ini dapat dimengerti
mengingat profesi yang satu ini masih menjadi lahan yang selalu diperebutkan
meski dengan gaji yang kata sebagian orang cukup pas-pasan akan tetapi dinilai
memiliki masa depan yang cukup terjamin. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
jika setiap kali dibuka pendaftaran, orang pun berjubel bak semut untuk
membentuk konsentrasi massa. Dan bahkan, begitu besarnya animo masyarakat untuk
melamar pekerjaan ini sehingga tidak jarang berbagai masalah yang muncul baik
sebelum maupun setelah pengumuman hasil tes CPNS seperti mulai dari munculnya
dugaan kasus suap menyuap dalam bentuk uang pelicin untuk lulus seleksi,
maraknya praktik percaloan dan beredarnya surat sakti, penundaan pelaksanaan
ujian seleksi selama beberapa waktu, beredarnya isu terjadinya kebocoran soal
tes. Dan adanya kelulusan ganda sampai kepada persoalan munculnya masalah
terhadap LJK (Lembar Jawaban Komputer) dan skoring.
Meskipun masalah di atas hanya terjadi di
beberapa daerah, akan tetapi mekanisme penerimaan CPNS seperti itu akan
berpotensi untuk menimbulkan keresahan sosial dan dapat berakibat munculnya
amuk massa sebagai manifestasi dari rasa ketidakpuasan dan protes masyarakat
terhadap prosedur penerimaan CPNS yang dinilai sarat dengan nuansa politik KKN,
sembrawut, persiapan yang diduga kurang matang serta minimnya koordinasi untuk
mengantisipasi berbagai masalah yang diperkirakan timbul selama masa
pendaftaran dan setelah pengumuman hasil seleksi penerimaan CPNS.
Timbulnya setumpuk masalah dalam seleksi
penerimaan CPNS tentu saja tidak lepas dari kinerja birokrasi sebagai lembaga
yang dinilai memiliki tanggung jawab yang besar dalam mengelola proses
rekrutmen CPNS. Apalagi, dalam masyarakat yang sifatnya heterogen yang terdiri
dari aneka warna kepentingan dan kebutuhan yang seringkali membuat seseorang
ingin memaksakan keinginannya di atas kepentingan masyarakat luas. Kondisi
seperti inilah yang kemudian tumbuh dan berkembang secara luas di tengah
masyarakat dan menjadi salah satu pemicu munculnya berbagai bentuk penyakit dan
masalah lain yang dihadapi oleh birokrasi. Seperti: Pertama, bertahannya
birokrasi patrimonial. Dalam hal ini, promosi pegawai tidak lagi didasarkan
pada keahlian dan kompetensi yang dimiliki oleh individu melainkan lebih diarahkan
pada hubungan kekeluargaan, ikatan darah, perkawinan, keluarga, daerah,
golongan dan lain sebagainya. Anggapan seperti ini pernah juga dikemukakan oleh
salah seorang sarjana asing, Richard Robinson (1986) yang pada dasarnya
berkesimpulan bahwa fenomena korupsi yang terjadi di negeri ini awalnya berakar
pada bertahannya jenis birokrasi patrimonial. Dan yang lebih parah lagi,
apabila birokrasi yang tidak sehat itu dianggap sebagai personifikasi negara
yang memiliki hak monopoli semua bentuk kekuasaan, sehingga dengan demikian
birokrasi memonopoli kekuasaan baik sebagai pelaksana maupun pengontrol
kegiatan pembangunan. Akibatnya, tidak menutup kemungkinan terjadi transaksi
koruptif di dalamnya yang melibatkan para birokrat untuk menjual kebijakan
negara demi kepentingan pribadi, keluarga ataupun kelompok. Padahal menurut Max
Weber bahwa salah satu ciri birokrasi yang ideal adalah setiap pejabat sama
sekali tidak diperbolehkan untuk melaksanakan tugas yang terkait dengan
jabatannya dan sumber daya instansinya untuk kepentingan pribadi dan
keluarganya.
Meskipun demikian, harus pula disadari
bahwa seiring dengan terjadinya perubahan sosial yang berlangsung begitu cepat,
lambat laun model birokrasi seperti ini juga ikut mengalami perubahan termasuk
di dalamnya tipe rekrutmen pegawai dalam birokrasi. Kedua, mentalitas feodal.
Walaupun pada dasarnya misi utama birokrasi sebagai pelayan masyarakat (public
service). Namun dalam kenyataannya seringkali birokrasi lebih berorientasi
menjadi abdi negara (state service). Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
muncul pula kesan dalam masyarakat yang mengidentikkan birokrasi sebagai
officialdom (kerajaan pejabat), di mana rakyat sangat tergantung pada pejabat
dan bukannya pejabat yang tergantung pada rakyat. Belum lagi adanya hirarki
yang cukup ketat dalam birokrasi yang mengakibatkan pola hubungan antara atasan
dengan bawahan menjadi Patron-Client dan kaku, sehingga tidak mengherankan jika
berkembang pula sikap mental ABS (Asal Bapak Senang), oportunis yang dinilai
cenderung feodalistik. Dan rupanya masalahnya tidak hanya sampai di situ, sebab
ternyata model birokrasi yang feodalistik ini tidak lagi dinilai melindungi
kepentingan publik, melainkan menjadi tuan bagi masyarakat, dan konsekuensinya
bukannya birokrasi yang melayani masyarakat, akan tetapi justru masyarakatlah
yang harus melayani birokrasi.
Akhirnya, tantangan lain yang muncul dalam
birokrasi adalah prosedur kerja yang tidak efisien dan efektif. Itulah
sebabnya, mengapa sering muncul kesan yang kurang baik terhadap kinerja
birokrasi yang sering dihubungkan dengan mekanisme kerja dan kegiatan
administrasi yang cenderung lamban dan berbelit-belit (Red Tape). Akibatnya,
mereka yang berurusan dengan birokrasi dengan prosedur kerja seperti ini harus
menghabiskan biaya, tenaga dan waktu yang cukup banyak untuk sesuatu urusan
yang sebenarnya sangat sederhana, efisien dan dengan biaya yang murah. Dan yang
lebih aneh lagi, jika muncul pula sebagian birokrat yang bermental arogan, sok
tahu, tidak disiplin, memiliki etos kerja yang lemah, dan suka mengaburkan
masalah.
Salah satu upaya yang harus dilakukan oleh
birokrasi publik untuk meminimalisir segala bentuk penyimpangan dalam rangka
proses penerimaan CPNS adalah dengan cara menerapkan merit system.
Suatu model Perekrutan yang mana calon yang
lulus seleksi benar-benar didasarkan prestasi, kompetensi, keahlian maupun
pengalaman calon sehingga dengan demikian tipe rekrutmen yang bersifat spoil
system (sistem pemanjaan) yang lebih ditekankan pada hubungan patrimonial dapat
dieliminasi. Dengan menerapkan tipe merit system, ini berarti bahwa calon yang
lulus dalam seleksi dijamin memiliki kualitas yang baik yang dapat mendukung
kinerja birokrasi untuk lebih optimal di masa yang akan datang. Selain itu,
untuk mencapai tujuan ini, ada juga beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
rangka melakukan reformasi dalam tubuh birokrasi, antara lain: Pertama,
Transparansi. Di tengah semakin derasnya arus tuntutan masyarakat terhadap
terwujudnya tata pemerintahan yang baik, maka prinsip keterbukaan harus ikut
mewarnai mekanisme perekrutan CPNS. Ini dilakukan sebagai upaya untuk
menciptakan suatu kinerja birokrasi yang bersifat terbuka dan transparan dalam
menyampaikan informasi dan data yang akurat kepada masyarakat tentang mekanisme
seleksi mulai dari masa pendaftaran hingga pengumuman hasil ujian sehingga
dengan demikian masyarakat dapat memberikan penilaian yang lebih objektif dan
rasional terhadap kinerja birokrasi.
Kedua, Akuntabilitas publik. Mengingat seleksi
penerimaan CPNS berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat luas, maka adalah
wajar jika seluruh tindakan, perilaku dan aktivitas serta segala kebijakan
dalam birokrasi harus pula dipertanggungjawabkan kepada publik. Sebaliknya,
masyarakat harus lebih proaktif untuk bertindak dalam melakukan kontrol
terhadap birokrasi sehingga seluruh tugas dan tanggung jawab yang dilakukan
oleh para birokrat baik yang bersifat administratif maupun fungsional
senantiasa diorientasikan pada komitmen dan keberpihakan bagi kepentingan
publik.
Ketiga, pelayanan yang profesional. Kualitas
pelayanan birokrasi kepada masyarakat sangat dipengaruhi berbagai faktor
seperti: kualitas kepemimpinan dalam birokrasi, prosedur pelayanan sifatnya
harus efisien, sederhana, mudah dijangkau di semua lapisan masyarakat, tepat,
jelas dan aman.
Di samping itu, untuk lebih mengoptimalkan
pelayanannya kepada publik, khususnya dalam kaitannya dengan proses rekrutmen
CPNS, maka posisi birokrasi harus netral sebagai mesin pemerintahan yang
melaksanakan tugas-tugas administrasi dan operasional secara proporsional,
rasional, objektif. Ini sangat penting untuk dilakukan sebagai upaya untuk
mencegah jangan sampai birokrasi menjadi arena pertarungan dari berbagai bentuk
intervensi dan konflik kepentingan di antara individu atau kelompok yang pada
akhirnya menjadikan birokrasi tidak dapat bekerja secara sehat, efektif,
profesional dan mandiri.Keempat, kehadiran lembaga independen.
Belajar dari beberapa pengalaman masa lalu
tentang mencuatnya sejumlah kasus seperti adanya oknum tertentu yang dengan
sengaja meminta uang semir, isu beredarnya surat sakti dari beberapa pejabat
dan dengan terjadinya kebocoran soal dalam proses seleksi penerimaan CPNS, maka
untuk mengantisipasi semua permasalahan ini, dirasa perlu untuk membentuk suatu
lembaga pemantau yang sifatnya independen yang terdiri dari sejumlah tokoh dan
mewakili sejumlah komponen masyarakat yang bertugas untuk membantu birokrasi
pemerintah, terutama dalam melakukan pemantauan dan pengawasan baik selama masa
pendaftaran maupun setelah ujian seleksi CPNS dilaksanakan. Selain itu,
keberadaan lembaga independen ini, memiliki peran yang sangat penting untuk
melakukan kontrol terhadap kinerja birokrasi, baik yang sifatnya formal maupun
informal, sehingga posisi birokrasi tetap proporsional (berimbang) antara
kepentingan negara (pemerintah) dan masyarakat (rakyat).
Kesimpulan
Birokrasi di Indonesia mengalami perkembangan
dari masa ke masa. Perkembangan itu mengikuti bagaimana penguasa melaksanakan
kekuasaannya. Sampai saat ini bangsa Indonesia terus membenahi sistem
birokrasi, reformasi birokrasi pun dapat tercetus dan dijalankan seiring dengan
tuntutan masyarakat atas pelayanan dari birokrasi yang lebih baik.
Saat ini sistem merit atau “merit system”
tengah dilaksanakan dengan harapan birokrasi akan lebih professional dan lebih
netral karena dipegang oleh personal-personal yang sesuai dengan keahliannya
dan memiliki kopetensi yang tinggi karena memang direkrut dengan cara-cara yang
professional.
Dan pada akhirnya dengan memberlakukan sistem
ini akan membawa perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara kearah yang
lebih baik. Dan membawa negara Indonesia dapat sejajar dengan negara-negara
lain yang mempunyai birokrasi yang baik dan professional sehingga rakyatnya
dapat terlayani dengan baik
Referensi
Albrow. 1989. Birokrasi. alih
bahasa M. Rusli Karim dan Totok Daryanto. Tara Wacana. Yogyakarta
Blau, Peter M dan Meyer, Marshal W.
1991. Birokrasi Dalam Masyarakat Modern. UI Press. Jakarta
Mas’oed, Mohtar. 1994. Politik
Birokrasi dan Pembangunan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Thoha, Miftah. 1991. Beberapa
Kebijaksanaan Birokrasi. Widya Mandala. Yogyakarta
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan
Politik di Indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta
Tjokrowinato, Moeljarto. 2001. Birokrasi
dalam Polemik. Pustaka Peajar. Yogyakarta
Wrong, Denis. 2003. Max Weber Suatu Khazanah. Ikon
Teralitera. Yogyakarta
Komentar
Posting Komentar